Kalau orang duduk di warung kopi, banyak yang bilang duduk membuang waktu dengan omong kosong. Bicara kesana kemari tahu tahu waktu berlalu. Secangkir kopi habis, percakapan masih terus tak habis-habis. Wang sinawang. Kelihatannya, nampak luarannya kalau orang Jawa berujar. Padahal ya, tidak selalu demikian kalau kita simak betul betul ikut di kalangan.Â
Duduk bersama mendengarkan apa yang diperbincangkan terkadang malah bikin dapat pengetahuan lintas batas. Topiknya bisa saja acak, bisa juga kadang hanya membahas satu hal tapi lantas melebar kemana mana.
Itu biasa.Â
Malah itu jadi warung kopi yang sesungguhnya. Subur percakapan, banyak obrolan, bukan malah diem-dieman sibuk dengan gawai masing-masing.Â
Dahulu kedai kopi malah menjadi bagian dari lumbung pengetahuan. Makanya sempat tersemat dengan sebutan "Penny University". Sebuah julukan bahwa lewat satu penny, satuan terkecil mata uang bisa dapat pengetahuan dari berbagai sumber yang latar belakangnya beragam.
Peran warung kopi sekarang memang sudah jadi semakin lengkap. Orang bekerja, bermain, berjumpa, kopdaran, meet up, rapat bahkan kalau kita singgah di Mato Kopi, Blandongan di Jogja, warung kopi juga sekaligus tempat tidur karena jam bukanya yang panjang, dan pagi-pagi sekali sudah beroperasi.
Tidur di lantai, di kursi panjang jamak didapati pada dua kedai tertua di Jogja yang masih langgeng itu..Â
Hotel-hotel, guest house, kost eksklusif, villa juga sekarang menggandeng warung kopi untuk bikin semakin hidup tempatnya. Itu juga mulai banyak di Jogja. Pokoknya warung kopi di Jogja mau berbagai model semua ada. Dari yang ala Jejepangan, modelan gaya Australia, konsep seperti kedai pendekar, mencontek mentah mentah kedai dari Singapura, replika coffeeshop Amerika, atau yang cuma jualan satu jenis kopi sampai yang toplesnya berjejer panjang sekali sampai yang mau ngopi bingung mau milih yang mana juga ada.Â
Kalau ada obrolan di warung kopi masih didapati, itu artinya masih ada interaksi sosial yang bagus. Kalau ga ada itu yang perlu dikhawatirkan, mungkin pertanda warung kopi sudah menjadi tidak sama lagi sebagai pertautan antar individu, sebagai ruang perjumpaan orang orang lalu lalang. Kecuali memang warung kopinya ada tulisannya dilarang ngobrol harap tenang. Jangan janga itu bukan warung kopi, tapi perpustakaan. Tempat yang senyap tempat orang tak boleh banyak bercakap cakap.Â
Obrolan warung kopi memang identik dengan obrolan yang melampaui batas. Semua setara disana. Sama sama minum dari orang yang sama peraciknya. Sama sama duduk sama rendah berdiri sama tinggi. Barangkali yang membedakan hanya kadar pengetahuan dan jumlah pesanan saja.Â
Lainnya sama. Durasi juga ditentukan oleh masing masing mereka. Tidak seperti kelas di kampus, atau di sekolah. Ada batasan waktu, dan ada posisi yang lebih tinggi antara peserta didik, dan pengajar yang menentukan kelulusan. Temanya juga banyak. Mulai dari obrolan sehari-hari soal cuaca, sampai situasi politik atau bahkan prediksi prediksi balbalan.Â
Semua bisa jadi bahan percakapan. Kalau pandai-pandai mendapat lingkaran obrolan yang bagus, malah jadi tambah maju. Kalau ketemu orang-orang yang banyak peluang, bisa untung dari cangkir yang disesap. Kalau cakap mengelola hubungan bisa saja jadi lompatan untuk lebih berkembang.Â
Maka anggapan bahwa warung kopi hanya tempat berbual, tanggal segera. Tergantung dengan siapa berjumpa. Ibarat pepatah bersama pandai besi terpercik api, berpaluh asap, bersama pedagang minyak wangi terpercik wangi, beroleh sedap. Tergantung kita memilih, terampil memilih obrolan di warung kopi.
Kalau di Dongeng Kopi kami punya meja banyak yang panjang memang. Biar sama-sama berbagi meja dan akhirnya terlibat obrolan. Obrolannya semoga juga membawa masing-masing orang ke taraf yang lebih baik. Bagi yang gundah bisa terhibur dan jauh dari susah, yang kesepian jadi dapat kawan baru
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H