Mohon tunggu...
Don Eskapete
Don Eskapete Mohon Tunggu... Administrasi - Blogger

who am i?

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Psikologi Remaja dan "Sahur On The Road"

4 Juni 2018   21:57 Diperbarui: 4 Juni 2018   22:05 1049
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mendengar frasa 'Sahur on The Road' (SOTR) maka stigma negatif pun segera tersemat pada aktivitas tersebut. Pada awalnya SOTR memiliki tujuan mulia untuk berbagi menu sahur di jalan raya kepada tukang becak, petugas kebersihan, tunawisma, dan kelompok ekonomi 'kurang beruntung' lainnya.

Namun kini kegiatan tersebut sudah bias dari tujuan semula dan menimbulkan dampak tidak baik. SOTR yang biasanya diikuti oleh para remaja ini seringkali berujung pada tindak kriminal, kecelakaan lalu lintas, tawuran, dan tindakan 'unfaedah'  lainnya.

Contoh terbaru dari dampak negatif SOTR yaitu insiden penyiraman air keras oleh sekelompok remaja yang tengah mengikuti SOTR. Tindak kriminal yang terjadi di Jakarta kemarin ini membuat korban yang tersiram air keras dilarikan ke rumah sakit. 

Selain tindak kriminal, SOTR tak jarang juga mengakibatkan kecelakaan lalu lintas. Kondisi jalan raya yang lengang pada waktu dini hari dan darah muda yang sedang menggelora kadang membuat remaja-remaja yang ikut SOTR ingin menunjukkan kelebihan mereka, salah satunya menjadi yang tercepat di jalanan. Tindakan sok jagoan ini akhirnya berujung pada kecelakaan yang bahkan bisa memakan korban jiwa.

Tawuran antarkelompok juga kerap terjadi saat SOTR ini. Penyebabnya beragam, mulai dari senggolan antarindividu, saling ejek, atau teguran dari kelompok masyarakat yang merasa terganggu dengan perilaku mereka. Merasa tersinggung dan tidak terima, perkelahian atau tawuran pun terjadi.

Insiden-insiden yang terjadi terkait dengan acara SOTR biasanya melibatkan remaja sebagai pelaku. Mereka yang masuk dalam kategori 'usia tanggung' ini memang masih dalam masa-masa mencari identitas diri. Tawuran, kebut-kebutan, vandalisme, atau penyerangan terhadap orang lain yang tidak sependapat bisa jadi adalah cara untuk menunjukkan eksistensi mereka.

Dalam ilmu psikologi, ada sebuah masa atau usia perkembangan yang bersifat krusial bagi perkembangan setiap individu, yaitu masa remaja. Dalam masa ini, seseorang banyak mengalami gejolak di dalam hidupnya. Semua ini didasari oleh tugas penting yang harus dituntaskan pada masa remaja ini, yaitu pencarian identitas.

Remaja adalah masa transisi dari anak-anak menuju dewasa. Setiap fase kehidupan memiliki tugas yang harus diselesaikan. Fase anak-anak memiliki tugas untuk bermain. Dengan bermain, anak bisa belajar mengenal suara, bentuk dan lingkungan.

Saat remaja, tugas seseorang adalah mencari identitas diri. Namun dengan perkembangan otak yang semakin kompleks, pengaruh hormon dan emosi yang labil, maka proses mencari identitas akan semakin rumit.

Mereka yang ada pada usia remaja sudah memiliki tubuh fisik dan pola pikir yang bukan anak-anak lagi, namun belum memiliki tanggung jawab sebagai orang dewasa. Karena itu, usia remaja adalah usia tanggung, di mana masih banyak yang harus dikembangkan di dalam masa remaja ini.

Dalam masa ini, pencarian identitas adalah salah satu hal penting untuk dikembangkan. Seorang remaja bisa mencapai dan memperoleh identitasnya, namun sebaliknya bisa juga mengalami kekaburan atau kebingungan dengan identitas dirinya.

Tidak heran bila para remaja sering bertingkah aneh, kadang malah di luar akal sehat. Perkelahian, tawuran, kenakalan remaja, pacaran, berkumpul dengan teman-teman, sering pulang malam, adalah salah satu cara yang dilakukan untuk mencari identitas diri tersebut. Kondisi fisik yang prima sangat mendukung untuk mewujudkan hasrat mereka.

Pencarian identitas diri mulai terjadi sejak akil balig dan berlanjut hingga seseorang dewasa secara mental. Mencari identitas diri ini bisa dilakukan dengan berbagai kegiatan mulai dari mengikuti kegiatan kelompok sampai bergabung dalam komunitas-komunitas.

Pencarian identitas bisa muncul dalam berbagai macam bentuk, termasuk perilaku antisosial. Oleh karena itu pengawasan perlu dilakukan. Masa remaja adalah masa yang tepat untuk menanamkan nilai-nilai moral dan sosial di dalam masyarakat.

Pengawasan terhadap remaja inilah yang juga perlu dilakukan, termasuk pada saat SOTR. Namun karena lokasi SOTR ini berada di jalanan, pengawasannya menjadi lebih sulit. Dan melihat berbagai dampak negatif yang timbul saat SOTR (dan biasanya pelakunya adalah remaja), saya pribadi lebih setuju jika acara ini dilarang. 

SOTR bisa dialihkan ke kegiatan lainnya, yang saya rasa bisa lebih terkendali dan lebih tertib. Misalnya dengan sahur bersama di masjid-masjid dengan mengundang tukang becak, tunawisma dan fakir miskin yang ada di sekitar lingkungan masjid, dan dilanjutkan dengan kegiatan sholat subuh berjamaah. Tentunya ini sangat berfaedah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun