"dia pergi, dia pergi! penyair itu pergi!"
hening dusun kaki bukit sekonyong-konyong pecah oleh teriak dan tanya
"benarkah dia pergi?
lantas siapa kelak yang akan memandu burung-burung menembang kala pagi datang?"
"ke mana dia pergi?
siapa yang hendak merayu matahari menderma sinar pada kebun, halaman dan pondok kami?"
tanya tanpa jawab bak sampiran-sampiran sajak terhenti pada larik satu-dua
"benarkah dia pergi?
kemarin dia masih bermesra-mesra dengan pepohon flamboyan. melukis kuncup-kuncup merah yang di akhir musim besok akan merekah."
"ke mana dia pergi?
kemarin dia datang di kenduri kawin anak kami. melabur langit dengan kelir-kelir pelangi, merapal doa-doa suci cinta abadi."
tanya tanpa jawab menunggu larik tiga-empat melengkap sebait sajak
lalu bocah laki-laki berkaus putih. meretas hening bersuara lirih
"subuh tadi penyair itu pergi, kepadaku dititip pesan ini:
suatu saat, ketika aku pergi. tak berarti akhir riwayat t'lah tiba karena padamu masih ada cinta tersembunyi di lubuk paling abadi
olehnya maka suara suling anak gembala meninabobokan lembu di hampar padang. olehnya maka hijau pohon, gercik sungai, juga sejuk angin tak pernah jengah tinggal di bukit ujung dusun. olehnya, sajak-sajak akan selalu menggema. sepanjang hidupmu, anak dan cucumu.
rawatlah ia, hiduplah dengannya."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H