sebentar lagi tergelincir matahari di pungkas hari
dan di jalan kampung setengah aspal setengah berbatu
makin ku percepat kakiku, menuju rumah-Mu
Â
langit merona, menggelora. laksana gairah kalbuku
saat lidahku menyeru asma agung-Mu dalam lantun ayat suci
dan mulutku menghias senja-Mu dengan rangkai puja-puji
Â
tiba di pelataran, sejengkal dari beranda
dalam langit kian redup aku mendengar sayup
bisik lembut suara-Mu terbantun di hatiku
Â
: dari lidah yang menyebut asma-Ku dan mulut yang memuja-muji-Ku
dari lidah dan mulut yang sama kau hujat cela sesama kaummu
pantaskah kau berikan itu bagi-Ku?
Â
aku pun bergegas ke pancuran di samping surau
lebar-lebar ku tadahkan kedua tangan
dan ku usap wajahku
Â
tidak lagi dingin, tapi hangat yang menyentuh wajahku
saat air mata jatuh dan bercampur air pancuran
kemudian hanyut menuju ujung selokan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H