(i)
merekah ranum apel berhias separuh warna bianglala
hangat sapa matahari membuat kian elok merona
oleh sepoi angin ia berpantul manja pada tangkai yang lelah menopang
begitu istimewa, hingga ia dilindungi pagar-pagar menjulang
menyelinap bak pengintai di sela-sela pagar
sehimpun dandelion di sudut kebun berhimpit berjajar
tiada yang peduli kehadiran sang jelata
mahkota-mahkota putih indahnya seolah tanpa makna
(ii)
“wahai apel,” sapa dandelion. “betapa beruntungnya engkau
sepanjang hari engkau terpelihara
sepanjang musim tumbuh sempurna
dan di pinggan raja-raja kelak dirimu berada.”
“wahai dandelion,” balas sang apel
“di antara rumput-semak engkaulah ratu
sungguh tiada tertanding keelokanmu
makota putihmu membuat setiap makhluk cemburu.”
(iii)
“tapi apalah aku. keindahanku adalah sekejap
hari ini mekar, esok pun segera lenyap
oleh terik matahari aku terkatung-katung
oleh hempas angin aku terhuyung-huyung”
“jangan berputus harap kawanku
aku bahkan ingin berkembara sebebas dirimu
tatkala angin membawa terbang sari-sarimu
tak ada pagar-pagar yang mengurungmu.”
(iv)
“jika aku boleh berharap
ijinkan aku di sudut ini tinggal menetap
sampai habis seluruh nafasku
biarlah aku ada di sisimu.”
“siapa aku sampai kau mengaju pinta
tak sedikit pun aku punya kuasa
di tangan penjaga kebun nasibku berada
yang memetikku entah esok entah lusa.”
(v)
dalam sepoi angin dua makhluk akrab berbicara
bertegur-sapa, memuji-muja bak sejoli dimabuk asmara
hingga terdengar sayup menderap
langkah-langkah semakin mendekat
“cepat pergi, dandelionku!
tanggalkan bungamu dan terbang bersama sang bayu
sebelum penjaga datang membabat rumput, belukar, dan segala tetumbuh liar
lalu mencampakkanmu dalam api berkobar.”
(vi)
menjelang senja angin sepoi terus berhembus
menyusup sela-sela pagar lalu masuk ke dalam kebun
namun dandelion tak beranjak pergi
tetap berada di tempatnya berdiri