Setelah menempuh perjalanan sekitar 1 jam, pukul 9 lewat dikit geng Kompasianer Palembang-Umek Elly Suryani, Jeffri, Mutea, Dona dan Sandi  tiba di Sungsang.Â
Suatu kawasan pemukiman nelayan yang terkenal  lokasinya tak jauh dari Pelabuhan Tanjung Api Api masuk dalam wilayah Kabupaten Banyu Asin- Sumatera Selatan.Â
'Baunya seperti pempek panggang...' celetuk Umek Elly saat kami melintasi  hamparan jemuran udang kering berwarna jingga muda. Desa nelayan memang punya aroma khas,seolah kita bisa tiba disana hanya dengan mengendus-endus baunya saja.
Sayangnya kami malah mengandalkan petunjuk Mbak Google Maps. Sempat salah belok sebelum akhirnya kami kembali ke jalan yang benar setelah Umek menelpon  Aprianto, S.Hut staff CIFOR yang menunggu kami di ujung Desa Sungsang IV.
Jeffri  yang berbaik hati menjadi driver hari ini,memarkir mobil tak jauh dari kantor sekertariat  Ekoeduwisata Mangrove yang diinisiasi Center For International Forestry Research CIFOR.
Aprianto  menerima kami di depan warung kopi warkop  yang sepertinya multifungsi jadi semacam Creativehub. Pasalnya selama kami berkunjung, kulihat Kepala Desa,masyarakat dan tetamu yang datang bisa ngobrol santai berbagi ide dan pengalaman disini.
Tuan rumah kami kyai Aprianto  yang asli komering ini tipikal social butterfly. Ia mudah bergaul dan memberikan energy positif pada lingkungan.
Habis 'ngopi-ngopi  maze' Aprianto mengajak kami turun melihat bibit-bibit mangrove yang ditanamanya di sekitar kantor sekertariat. O iya, kantor sekertariat CIFOR adalah rumah panggung mungil  tak begitu jauh dari bibir Sungai Sungsang.
Karena masih begitu pagi, aku mengira geng Kompal adalah pengunjung pertama sekertariat. Eh gagal kita jadi Pertamax, sudah keduluan mahasiswa Universitas Sriwijaya  yang sedang field trips ke mari. Tak sempat betegur sapa,mereka sudah melanjutkan perjalanan menuju hutan wisata.
Sekilas bibit-bibit mangrove yang berjejer dalam polybag  terlihat sama saja. Waduh bestie, ternyata menurut Aprianto ada sekitar 16 jenis mangrove yang coba diperbanyak disini.
Salah satunya adalah Kandelia  Candel, varietas  ini diklaim paling banyak menyerap karbon dibanding  mangrove jenis lain.
Sebagai info Ekoeduwisata Mangrove Desa Sungsang 4 Â masuk nominasi 75 besar Anugerah Desa Wisata Indonesia ( ADWI) 2023. Prestasi yang menjadi motivasi bagi masyarakat,Pemda dan tentu saja CIFOR untuk melanjutkan misi meningkatkan pengetahuan masyarakat sekitar tentang mata pencarian alternatif yang efektif di ekosisitem mangrove.
Keberadaan Ekoeduwisata Mangrove di Sungsang lV Â tidak hanya berdampak pada alam dan hewan. Masyarakat dan nelayan Sungsang juga mulai merasakan dampak postif bagi perekonomian mereka.
Misalnya UMKM kuliner local seperti pempek dan kerupuk udang yang banjir pesanan dari tamu-tamu yang datang. Kang Ojek dan Kang  Speed juga mendapat tambahan peghasilan dari mengantar  wisatawan yang ingin berkeliling Sungsang.
Berkaitan dengan itu Aprianto menyampaikan  rencana jangka panjang CIFOR dalam pengembangan Ekoeduwisata Mangrove Sungsang 4. '....selain koleksi Herbarium nanti kami juga akan membuat Arboretum mangrove ...' imbuhnya penuh semangat.
Sembari beranjak kembali ke warkop,aku mulai mikir nih  jauh-jauh dari Palembang rasanya tanggung bener,kalau cuma melihat kebun bibit yang tak seberapa luas di halaman sekertariat saja. Jadi, kami langsung setuju, waktu Aprianto  menawarkan untuk ikut dengannya melihat area restorasi mangrove di Pantai Tanjung Carat.Â
Tak lama kemudian seorang anggota Polisi Air datang menjemput. Kok dijemput Polisi Air?Â
Seperti yang aku ceritakan tadi, Aprianto pergaulannya luas. Selain menjalin relasi dengan masyarakat dan pemuka desa,dirinya juga giat membangun networking dengan instansi-instansi lain yang mempunyai otoritas di wilayah kerjanya.Â
Polair adalah sala satu mitra kerja yang  mendukung Aprianto  mengawasi area restrorasi mangrove di Sungsang.Nah,kami beruntung hari itu diantar  speed  milik Polair ke Pantai Tanjung Carat Â
Melalui pedestrian diantara pepohonan mangrove kami berjalan menuju speed milik Polair ditambatkan.Diranting pohon kulihat beberapa  Macaca fascicularis  bergelayut  sambil mengamati orang yang melintasi pedestrian.Â
Begitu semua penumpang siap berangkat,nahkoda langsung tancap gass.Â
Arus deras Selat Bangka membuat speed terguncang-guncang seperti bis yang mekewati jalan berlubang.Hembusan angin dan cipratan air mengingatkan aku akan sensasi naik jeep lava tour Merapi
Alhamdulilah,Sungsang 4 Â Pantai Tanjung Carat hanya sekitar 20 menit.Seandainya lebih lama mungkin aku sudah mabuk laut.
Tiba di Tanjung Pantai Tanjung Carat, perahu mendarat di pasir halus berwarna kehitaman. Kira-kira 100 meter dari rumah pohon yang jadi tempat beristirahat peneliti dan tetamu yang berkunjung ke mari.
Masalahnya jarak 100 meter itu harus melintasi air laut setinggi betis dan lumpur sedalam pergelangan kaki.Akhirnya kami turun dari speed dengan membuka sepatu dan menggulung kaki celana.Â
Eit,hati-hati melangkah.Ada banyak kulit  kerang dan ratusan bibit mangrove yang tersebar di sepanjang pantai.Â
Tak jauh dari rumah pohon terlihat sekawanan Burung Kuntul yang tengah makan.Hasrat hati ingin mendekat,apa daya Aprianto melarang kami. 'Dimana ada burung kuntul di situ ada buaya'tegasnya.
Setelah 'membantu' Kak Meutea membuat video step by step tutorial naik rumah pohon,akupun ikut naik.
Di rumah pohon kami bertemu lagi dengan adik-adik mahasiwa tadi yang sudah lebih dulu tiba di Pantai Tanjung Carat. Mereka sedang makan siang sambil berdiskusi masalah dampak lingkungan akibat pantai kehilangan hutan mangrove.
Dari atas rumah pohon pandangan  sekitar pantai jadi lebih luas.Tapi kok sayang,kalau cuma dipandang saja.
Aku pikir lebih asik kalau aku ikutan eksplor Pantai Tanjung Carat bareng  adik-adik mahasiswa tadi.Maka akupun turun duluan.
Belum jauh melangkah,aku perhatikan mereka mengamati  kerang Teritip yang menempel di batang mangrove.Baru aku tahu,Teritip adalah hama bagi mangrove.Â
Tak lama kemudian kudengar gadis-gadis berteriak girang. Aku mendekat dan melihat mereka mengangkat Tachypleus gigas dari lumpur. Sayang sekali hewan berdarah biru ini sudah mati.
Sesampai di pantai,aku ikut-ikutan yang lain mencongkel pasir. Mencoba keberuntungan mencari kerang tahu.Voila,setelah beberapa kali mendapat cangkang kosong akhirnya berhasil mendapat satu kerang untuk oleh-oleh pulang ke Palembang.
Menjelang tengah hari air laut mulai pasang,Pantai Tanjung Carat perlahan-lahan menghilang.Kami bergegas naik ke speed sebelum air laut bertambah tinggi.
Dalam perjalanan pulang aku membandingkan 'nilai jual' Desa Wisata Mangrove Sungsang dengan objek-objek wisata lain di Sumatera Selatan.Â
Kesimpulanku untuk saat ini situasi dan kondisinya masih nangung banget.Mungkin menarik untuk wisatawan minat khusus seperti peneliti atau pengamat lingkungan.
Seperti yang Umek Elly Suryani bilang,masyarakat Sungsang perlu pendamping yang membantu mereka bersiap menjadi masyarakat sadar wisata.
Sampai jumpa lagi Sungsang dan Pantai Tanjung Carat semoga kelak ada kesempatan Kompasianer Palembang mampir lagi ke sana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H