Mohon tunggu...
H.D. Silalahi
H.D. Silalahi Mohon Tunggu... Insinyur - orang Tigarihit

Military Enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Maaf Pak Edhy Prabowo, Regulasi Lobstermu Memang Berbau Tak Sedap.

26 November 2020   14:08 Diperbarui: 30 November 2020   17:29 615
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kompas Data via Twitter

Presiden Jokowi pernah mengeluhkan bahwa Indonesia terjebak oleh ribuan peraturan. Peraturan rumit yang membelenggu pergerakan seluruh elemen bangsa. Mulai dari rakyat, pekerja formal, perusahaan bahkan pemerintah sendiri. Sudahlah banyak, pun tak sinkron satu sama lain. Entah kenapa, di Indonesia, mulai dari jajaran eksekutif dan  legislatif sangat suka membuat peraturan. Kesenangan membuat peraturan, jangan-jangan sudah meningkat levelnya menjadi hobi.

Kuantitas peraturan bolehlah diadu, tapi kalau soal kualitas, tunggu dulu. Harus diakui, kualitas peraturan kita memang lumayan buruk kalau tidak  mau dibilang jelek. Selain tidak sinkron antar peraturan, acapkali bertabrakan. Disinyalir, peraturan malah boleh dipesan, bak membuka menu makanan di restoran. Tambahan pula, fungsi pengawasan dan pemberian sanksi bagi yang melanggar peraturan seringkali sangat lemah

Tidak jarang juga, modus para oknum pemangku kepentingan dalam memesan peraturan itu sudah sangat rapi. Meminjam jargon pelanggaran di Pemilu, tingkat keparahan patgulipat memesan pasal di suatu peraturan sudah sistematis, masif dan terstruktur. Mulai dari membuat celah kecil untuk dilanggar di Undang-undang. Celah ini kemudian diperbesar di level Peraturan Pemerintah untuk kemudian ditegaskan di peraturan pelaksana seperti Peraturan Menteri, Peraturan Direktur Jenderal dan peraturan pelaksana lainnya

Nah, salah dua peraturan yang sempat membuat ramai adalah Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 Tahun 2020 Tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus spp.) di Wilayah Negara Republik Indonesia. Dasar pertimbangan mengeluarkan peraturan ini sangat indah dan membuai. Mengutip Peraturan Menteri KKP, dasar diterbitkannya peraturan ini adalah "untuk menjaga keberlanjutan ketersediaan sumber daya perikanan, peningkatan kesejahteraan masyarakat, kesetaraan teknologi budidaya, pengembangan investasi, peningkatan devisa negara, serta pengembangan pembudidayaan lobster".

Miriplah dengan kebijakan Mobnas di era Presiden Soeharto, tujuan awalnya memang mulia, ingin memiliki mobil nasional buatan bangsa sendiri, padahal bohong...he.he. Motivasi terbesarnya  cuma ingin menghindari pajak impor mobil. Bagaimana mau menguasai tekhnologi pembuatan mobil kalau semua bagian mobil mulai dari mesin, body dan bagian bagian kecil lainnya diimpor bulat-bulat dari Korea Selatan.

Bagi yang suka dan terbiasa hanya membaca judul, pasti tersugesti dan untuk kemudian atas nama kepentingan rakyat, pasti membela mati-matian tipikal peraturan seperti  ini. Padahal, kalau ditelusuri pasal demi pasal, jangankan orang yang berkecimpung di dunia perikanan, orang yang awam sekalipun pasti mencium aroma tidak sedap dalam peraturan Menteri KKP ini.

sumber : haluan.co
sumber : haluan.co

Bagaimana tidak, peraturan inj menjadi instrumen legalisasi ekspor benur lobster ke luar negeri. Untuk diketahui, sampai dengan saat ini, tekhnologi perikanan yang ada belum mampu untuk memproduksi benih lobster secara buatan. Kalaupun ada, tekhnologinya belum matang dan tidak ekonomis. Sejatinya, semua benih lobster yang ada saat ini, murni hasil tangkapan dari alam. Kita patut berterima kasih karena alam Indonesia menyediakan benih lobster yang siap untuk dibesarkan.

Mantan Menteri KKP, Susi Pudjiastuti sebagai orang yang sudah makan asam garam di bisnis perikanan tahu betul akan potensi benih lobster ini. Hal ini juga yang mendasari beliau dalam menerbitkan pelarangan ekspor benur. Sayangnya, setelah tongkat estafet Menteri KKP beralih kepada Edhy Prabowo, peraturan inilah yang pertama kali dieliminasi.

Padahal peraturan yang diterbitkan oleh The Iron Lady ini sejalan dengan visi misi yang  selalu digaungkan oleh Presiden Jokowi, yakni meningkatkan nilai tambah produk. Alih-alih mengekspor benur, bila benur yang ada dapat dibudidayakan dengan baik, hasil yang didapat akan meningkat berkali-kali lipat. Makanya tidak mengherankan, demi meningkatkan nilai tambah produk, Pak Jokowi bersikeras melarang ekspor nikel, kendatipun sudah diprotes keras oleh beberapa negara.

Sejatinya pun penerapan ekspor benih lobster terlihat terlalu terburu-buru. Mengutip dari beberapa sumber, sebenarnya Komisi IV DPR RI sudah menyarankan agar penerapan Permen 12/2020 ditunda dulu menunggu terbitnya aturan baru tentang besaran Penghasilan Negara Bukan Pajak (PNBP) ekspor benih lobster.

Tambahan pula, disinyalir proses pemberian izin ekspor tidak transparan. Dari 26 perusahaan yang diizinkan untuk mengekspor benur,kebanyakan pemegang izin ekspor benih lobster ini adalah politisi dan pengusaha yang dekat dengan lingkaran pemegang kebijakan.

Mudah-mudahan, penangkapan Pak Edhy Prabowo menjadi pintu masuk evaluasi peraturan-peraturan pelaksana yang dianggap menciderai rasa keadilan. Sebut saja peraturan yang memperbolehkan penggunaan cantrang dan kebijakan melarang penenggelaman kapal-kapal asing yang mencuri ikan di perairan Indonesia.

Salam 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun