Mohon tunggu...
H.D. Silalahi
H.D. Silalahi Mohon Tunggu... Insinyur - orang Tigarihit

Military Enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

(Harap-harap Cemas) Menanti Arah Kebijakan Joe Biden terhadap Indonesia

12 November 2020   06:00 Diperbarui: 14 November 2020   09:39 906
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Joe Biden dan Kamala Harris tampil bersama di gym Sekolah Alexis I. DuPont di Wilmington, Delaware, Rabu siang (12/08/2020). (Foto: AFP VIA GETTY IMAGES/OLIVIER DOULIERY)

Pemilihan Presiden AS sudah menentukan Presiden AS berikutnya. Kendatipun Donal Trump berencana menggugat hasil pemilu ini, namun secara de facto Joe Biden sudah menyandang gelar sebagai Presiden AS ke 46. 

Kemenangan Biden ini meneruskan tradisi suksesi Presiden AS sejak era George H.W Bush. Presiden dari kedua partai tidak pernah memerintah lebih lama dari 8 tahun. Boleh dibilang, sejak era Bush Junior, kader kedua partai selalu berganti-ganti memimpin.

Presiden dari Partai Demokrat dan Partai Republik selalu bergantian memimpin (sumber : screenshoot wikipedia.org)
Presiden dari Partai Demokrat dan Partai Republik selalu bergantian memimpin (sumber : screenshoot wikipedia.org)

Menyandang gelar sebagai negara adikuasa, pemilihan Presiden AS turut menjadi sorotan dunia, bukan hanya menjadi konsumsi warga negara AS semata. Sudah mejadi tradisi, seluruh dunia akan menanti, siapa sosok Presiden AS berikutnya. 

Bagaimana tidak, sebagai orang terkuat di dunia dan bercermin pada sejarah presiden-presiden AS sebelumnya, sosok Presiden AS berpengaruh besar dalam menentukan wajah dunia kedepannya.

Sosok dan kepribadian Presiden AS acapkali dijadikan gambaran, seperti apa kebijakan yang akan ditempuh negara super power ini. 

Mengingat sentralnya sosok seorang Presiden AS, seluruh negara di dunia, tanpa terkecuali akan mengkalkulasi akan seperti apa kebijakan Presiden AS terhadap kepentingan nasional mereka, tidak terkecuali dengan Indonesia. 

Oleh sebab itu, menjadi wajar rasanya, melihat langkah Presiden Jokowi yang segera mengucapkan selamat atas terpilihnya Joe Biden sebagai Presiden AS. 

Untuk diketahui, Indonesia merupakan salah satu negara pertama yang mengucapkan selamat atas keberhasilan suksesi di Amerika Serikat. Langkah ini sangat penting dilakukan. Ucapan selamat kepada Joe Biden adalah simbol penghargaan Indonesia terhadap hubungan baik dengan AS.

Sebagai bagian dari tatanan global, tidak dapat dipungkiri, Indonesia merupakan salah satu negara yang berkepentingan langsung terhadap dampak kebijakan Amerika Serikat.  Harus diakui, jalinan hubungan yang erat yang terjalin dengan AS selama ini, mendatangkan keuntungan yang tidak boleh dibilang kecil terhadap Indonesia. .

Presiden Soeharto dan Direktur IMF (sumber : Merdeka.com)
Presiden Soeharto dan Direktur IMF (sumber : Merdeka.com)

Dalam satu dekade terakhir Indonesia cukup diuntungkan dengan keberadaan 2 sosok Presiden AS yang cukup ramah terhadap Indonesia. Di era Presiden Barrack Obama, Indonesia boleh bersyukur karena kebijakan Obama tidak mencerminkan sebagaimana lazimnya seorang Presiden dari Partai Demokrat.

Presiden Barrack Obama memperlakukan Indonesia berbeda (lebih istimewa) dibandingkan negara-negara lain. Bagaimana tidak, kecenderungan Presiden AS yang berasal dari Demokrat, acapkali mencampuri urusan dalam negeri negara lain dengan dalih demokratisasi, hak azasi dan kebebasan berpendapat, tidak diberlakukan di era Pemerintahan Obama. 

Presiden Barrack Obama hampir tidak pernah menyinggung masalah Papua dan berbagai persoalan hak azasi di Indonesia. Mungkin saja keistimewaan ini didapat Indonesia, dilatarbelakangi oleh masa kecil Obama yang pernah tinggal di Indonesia. Kondisi ini membuat Obama lebih mengenal budaya dan kepribadian bangsa Indonesia. 

Pada era Barrack Obama, sektor perdagangan Indonesia mendapatkan fasilitas GSP (generalized system of preferences) atau pemotongan bea masuk impor terhadap produk ekspor Indonesia. 

Di sektor pertahanan, setelah Presiden George W Bush Junior resmi menghapus embargo militer, Pemerintahan Obama menambah lagi level kerjasama dengan Militer Indonesia yakni dengan memberikan akses pertukaran informasi taktikal standar NATO (data link 16) terhadap TNI. 

Akses istimewa ini diberikan setelah Pemerintah Indonesia resmi menyepakati CISMOA (Communication Interoperability and Security Memorandum Agreements) dengan Pemerintah AS pada tahun 2015

Kalau boleh membandingkan, kebijakan Barrack Obama sangat berbeda dengan Bill Clinton kendatipun sama-sama berasal dari Partai Demokrat. 

Pada era Bill Clinton, Pemerintah AS acapkali mendikte urusan dalam negeri Indonesia terutama dalam hal penanganan hak azasi dan isu yang menyangkut Papua. 

Berbeda dengan Presiden Obama, kebijakan Clinton terhadap Indonesia, meneruskan tradisi yang dianut oleh presiden-presiden sebelumnya, yang berasal dari Partai Demokrat. 

Tidaklah mengherankan, pada era Bill Clinton, Indonesia harus rela menelan beberapa pil pahit dampak kebijakan luar negeri AS. Dalam kurun pemerintahan Bill Clinton, Indonesia harus tunduk terhadap tekanan AS yang menyerukan referendum kemerdekaan Timor-timor. 

Begitu juga ketika terjadi krisis moneter yang menerpa Indonesia pada tahun 1998. Kala itu, demi mendapatkan pinjaman dari IMF yang notabene merupakan lembaga dalam pengaruh besar AS, Presiden Soekarno harus menyetujui syarat pemulihan ekonomi yang sangat memberatkan Indonesia.

Tambahan pula, akibat pemisahan Timor-Timor, TNI harus menerima kenyatan pahit setelah AS resmi menerapkan embargo militer terhadap Indonesia.

Kalau kita kembali ke era tahun 60-an, kelakuan Presiden AS dari Partai Demokrat saat itu, JFK Kennedy tentunya belum lupa di ingatan rakyat Indonesia. Kala itu, JFK Kennedy berperan penting dalam usaha menumbangkan Pemerintahan Presiden Soekarno. 

AS melakukan ini, karena menganggap arah politik Presiden Soekarno sudah melenceng ke kiri (condong ke poros Uni Sovyiet dan RRC). Disamping itu, AS merasa keberatan dengan kebijakan nasionalisasi perusahaan asing di Indonesia. 

Tidaklah mengherankan, setelah Soekarno tumbang, Perusahaan swasta AS, Freeport Mcmoran adalah perusahaan pertama yang mendapat izin investasi pertambangan dari pemerintahaan orde baru.

Kembali ke Partai Demokrat dan Republik yang memiliki pendekatan kebijakan luar negeri yang berbeda. Kendatipun tujuannya sama, yakni menjaga dan melestarikan hegemoni dan kepentingan AS di seluruh dunia, Partai Republik dan Partai Demokrat acapkali menempuh pendekatan yang berbeda. 

Tradisi Partai Demokrat yang menganut paham konservatif secara politik dan ekonomi membuat partai demokrat lebih percaya pada pentingnya agensi dan intervensi pemerintah dalam urusan pasar dan ekonomi.

Prinsip ini sejalan dengan kebijakan Partai Demokrat yang selalu mengangkat isu kebebasan hak azasi, feminisme, humanisme dan demokratisasi untuk menekan negara yang dianggap melanggar prinsip-prinsip ini 

Berbeda halnya dengan Partai Republik yang menganut tradisi lebih liberal. Partai Republik meyakini bahwa  peran pemerintah relatif kecil dan terbatas (small and limited government), dan secara ekonomi, paham ini lebih percaya pada mekanisme pasar bebas (free market). 

Paham yang dianut oleh Partai Republik membuat para Presiden yang berasal dari Partai ini, tidak terlalu peduli terhadap kondisi internal negara lain. 

Mereka lebih peduli terhadap kepentingan nasional AS.  Artinya selama kepentingan AS tidak diganggu, mereka tidak akan mengganggu urusan dalam negeri negara lain dengan isu-isu yang merusak.

Tidaklah mengherankan, di era Presiden Donal Trump, AS tidak terlalu peduli dengan isu Papua. Malah, isu yang sempat menjadi sorotan di Indonesia yakni pelepasan 51 % saham Freeport-Mcmoran tidak menarik perhatian Donal Trump. 

Satu hal mungkin yang mengganjal di era Trump adalah keinginan Pemerintahan Trump untuk mengevaluasi pemberian fasilitas GSP pada beberapa komoditi ekspor Indonesia ke AS. 

Evaluasi ini ditempuh karena neraca perdagangan AS - Indonesia yang timpang. Kendatipun begitu, pada akhirnya Pemerintahan Trump tetap memberikan fasilitas GSP penuh terhadap Pemerintah Indonesia.

Mari berharap, kebijakan yang akan ditempuh Joe Biden, mewarisi kebijakan yang sudah dilakukan di era Presiden Barrack Obama. Harapan ini beralasan karena bagaimanapun juga, Joe Biden adalah mantan Wakil Presiden dari Presiden Barrack Obama. 

Kendatipun begitu, Indonesia harus bersiap apabila kebijakan Joe Biden tidak seperti yang diharapkan. Situasi ini bisa saja muncul, mengingat persaingan antara China dengan AS semakin menajam. 

Mungkin saja Joe Biden akan mengikuti langkah Trump yang mendesak negara-negara  Asia Tenggara untuk menentukan pilihan.  Memilih bergabung dengan China atau AS. 

Bila langkah itu tidak segera diantisipasi, bukan tidak mungkin Joe Biden akan mengikuti jejak Bill Clinton yang suka mengangkat isu hak azasi dan isu Papua. 

Akhir kata, semoga Joe Biden memilih kebijakan yang ramah terhadap kepentingan Indonesia

Salam

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun