Silent Reader Kompasiana

Biasanya kegelisahan ini saya tumpahkan dengan berdiskusi di grup-grup media sosial seperti Facebook atau  menyampaikan langsung ke akun medsos para konstestan Pilpres. Tetapi lini masa media sosial yang semakin dipenuhi berita hoaks dan caci maki antar pendukung menciptakan ketidaknyamanan buat saya pribadi. 

Di titik itu, saya mulai mengurangi intensitas berselancar di Facebook dan mulai keluar dari keanggotaan di grup-grup pendukung calon Presiden. Mencoba mulai menulis di Kompasiana, kendatipun dengan pengetahuan menulis yang masih nol.

Awal-awal menulis di Kompasiana, niatnya hanya ingin menulis saja, menumpahkan segala kegelisahan di otak. Tidak ada bedanya seperti orang buta yang dilepas kejalan, tidak mengerti fitur fitur yang ada dashboard akun kompasiana. 

Tidak tahu apa itu artikel pilihan, artikel utama atau aktivitas blogwalking untuk sekedar memberi rating atau mengomentari artikel sesama kompasianer. Bagaimana tidak, tahunya cuma menulis dan tidak peduli diksi....he.he... maafkan saya atas ke-gaptekan ini.

Setelah setahun memiliki akun kompasiana dan artikel yang seadanya, di bulan Juni 2020, saya mulai mencoba aktif lagi berkompasiana. Kendatipun dengan keterbatasan pengetahuan menulis dan  bahasa yang minim saya mencoba tetap aktif ber-kompasiana. 

Bagaimana tidak, iklim literasi di Kompasiana membuat nyaman dan memacu keinginan saya untuk terus belajar menulis. Selain itu, saya menganggap Kompasiana adalah gudang tempat menimba ilmu dari beragam kompasianer hebat yang melahirkan tulisan yang bermutu dan mencerahkan dan pastinya anti hoaks.

Tambahan pula, dan ini pendapat pribadi penulis, hal yang paling membuat betah di Kompasiana, admin kompasiana dan warga kompasiana selalu menjaga iklim yang menghargai  keberagaman dan perbedaan sesama warga kompasiana. Hal ini yang tidak bisa didapatkan di platform lain yang sejenis.

Sekali lagi, Selamat Ulang Tahun ke-12 buat Kompasiana.

Salam Takzim buat admin dan sesama Kompasianer