Mohon tunggu...
H.D. Silalahi
H.D. Silalahi Mohon Tunggu... Insinyur - orang Tigarihit

Military Enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

G 30 S/PKI adalah Klimaks Pertarungan Ideologi Era Perang Dingin.

30 September 2020   14:22 Diperbarui: 30 September 2020   23:58 1098
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok . Kompas/istimewa

Ujar-ujar lama menyebut bahwa " Sejarah ditulis oleh Pemenang ". Tidaklah mengherankan pasca perang Dunia ke-2, para pemenang ini mulai menata dunia sesuai dengan keinginan mereka. LBB diganti menjadi Perserikatan Bangsa-bangsa yang memberi hak istimewa yaitu hak veto kepada AS, Uni Sovyet, China, Inggris dan Prancis dalam menentukan kebijakannya. Selain itu, pertarungan ideologi, antara Uni Sovyet dan China yang menganut ideologi komunis serta AS, Inggris, Prancis dengan liberalismenya mempengaruhi dinamika politik berbangsa di berbagai belahan dunia.

Pertikaian ideolologi antar negara-negara besar pemenang PD II ini, tak pelak juga menimbulkan letupan-letupan konflik di berbagai belahan dunia. Mereka melakukan berbagai cara untuk mengintrusi kehidupan politik negara-negara di dunia demi melanggengkan kedigdayaan ideologi yang dianut.

Di Asia Tenggara sendiri, pergerakan komunis berada di atas angin setelah berhasil merengkuh Vietnam ke dalam genggaman. Kejatuhan Vietnam tak pelak, membuat posisi Indonesia  yang secara de facto merupakan negara terbesar di Asia Tenggara, bagaikan keping Puzzle yang terakhir. Kalau memang ingin eksis di Asia Tenggara, harus menguasai Indonesia dulu.

Catatan Richard Cabot Howland, staf Kedubes AS yang bertugas di Jakarta tahun 1965-1966, menyiratkan, kedua ideologi ini sudah menanamkan pengaruhnya di berbagai institusi, ormas dan aktivis politik di Indonesia. Ditambah pula, dengan sikap politik Soekarno yang mencoba memadukan aliran Nasional, Agama dan Komunis dalam prinsip dasar kebangsaan Indonesia, semakin memudahkan organ-organ ideologi liberal dan komunis menyusup masuk ke institusi-institusi penting di Republik ini.

Situasi politik global yang terbelah dalam pertarungan ideologi, membuat posisi Soekarno sangat penting sekaligus juga genting. Kalau diibaratkan, Soekarno seperti kembang desa yang diperebutkan oleh dua pemuda yang possesif. Nikmat ketika dikejar, beresiko ketika menolak salah satunya.

Perebutan Kekuasaan.

Tidak dapat dipungkiri, kemerdekaan Indonesia adalah hasil perjuangan seluruh rakyat Indonesia. Fakta sejarah menyebut, bahwa para pendiri bangsa ini berasal dari latar belakang yang berbeda beda. Para pendiri bangsa ini terdiri dari tokoh yang beraliran Nasionalis, Agamais dan tidak ketinggalan, yang menganut ideologi komunis. Tidak bisa dinafikan, semua elemen ini mempunyai sumbangsih dalam perebutan kemerdekaan. 

Adalah sang pendiri bangsa Presiden Pertama RI, Ir. Soekarno memilih jalan politik Nasakom sebagai platform politik Indonesia, untuk mengakomodasi semua anak bangsa. Kendatipun berniat baik, tetapi dalam praktiknya ternyata menggabungkan semua ideologi ke dalam satu platform tidak semudah dibayangkan. Dalam perjalanan waktu, friksi antar aliran sering meletup, terutama antar aliran komunis dengan agama.

Seiring dengan keberhasilan menduduki urutan 4 dalam Pemilu Tahun 1955, PKI  kembali eksis dalam dunia perpolitikan Indonesia. Jejak langkah dan kiprah PKI dalam perpolitikan Indonesia, cukup mengkhawatirkan Partai-partai lain dan juga Angkatan Darat, yang memang sejak Pemberontakan Madiun Tahun 1948, sudah mencurigai niat buruk PKI. Ditambah lagi, usul PKI untuk mempersenjatai buruh tani sebagai Angkatan ke-5, semakin memperburuk hubungan PKI dengan Angkatan Darat. 

Tidaklah mengherankan friksi kedua lembaga ini memunculkan ketegangan yang diilustrasikan oleh banyak orang dengan menyebut kondisi ibukota Jakarta sedang hamil tua alias sewaktu-waktu, ketegangan kedua kubu ini akan meledakkan konflik terbuka antar kedua kubu.

Teryata, Richard Cabot Howland mencatat bahwa AS dan China salah memprediksi klimaks ketegangan pertarungan politik ini. China dan AS memang memprediksi cepat atau lambat friksi antar Komunis dan Angkatan Darat akan meledak, tetapi tidak secepat itu.

Dan, seperti yang sudah tercatat dalam sejarah,  Gerakan G30 S yang merupakan puncak pertarungan politik antar aliran di dalam negeri sebagai imbas perang dingin, segera merubah peta perpolitikan Indonesia. Pada akhirnya, Indonesia memang tidak memilih kedua ideologi dan tetap memegang teguh ideologi yang sudah dianut sejak kemerdekaan yaitu ideologi Pancasila.

Tetapi ekses pertarungan politik ini memunculkan seorang pemenang yakni pejabat senior AD, Jenderal Soeharto dan menjadikan PKI mengulangi kisah tahun 1948 di Madiun, lagi-lagi menjadi pecundang. Tambahan pula, dikeluarkannya Ketetapan MPRS Nomor : XXV/MPRS/1966 mengakhiri segala kiprah politik PKI di Indonesia, sampai sekarang. 

Kesimpulan.

Kendatipun begitu,  hal ikhwal Gerakan 30 tahun 1965 September masih menjadi misteri sampai dengan saat ini. Tetapi seiring dengan seiring dengan kejatuhan orde baru pada tahun 1998, berbagai elemen masyarakat mulai mempertanyakan kebenaran peristiwa ini.

Rasa keingintahuan ini wajar, apabila dikaitkan dengan ujaran yang menyebutkan bahwa "sejarah ditulis oleh pemenang". Bukankah rezim orde baru sudah tumbang? . Rezim Soeharto digantikan oleh era yang  yang memang bertujuan mengoreksi semua penyimpangan orde baru. 

Rezim Orde baru terbukti merusak berbagai sendi kehidupan bangsa ini dengan masalah Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) serta sektor ekonomi yang digerogoti kartel dan monopoli pasar. 

Sudah sepatutnya generasi penerus bangsa ini, menguji kebenaran sejarah bangsa ini. Sudah sewajarnya juga mempertanyakan kebenaran dari konten film G30 S/PKI, apakah sesuai dengan bukti sejarah. 

Bagaimana tidak, sesuai pernyataan tim forensik (Brigjen dr Roebiono Kertopati, Kolonel dr Frans Pattiasina. Prof Dr Sutomo Tjokronegoro,dr Laiuw Yan Siang, dan dr Liem Joe Thay.) bahwa sesuai hasil visum, para Jenderal yang gugur tidak mengalami penyiksaan seperti yang digambarkan dalam film picisan karya Nugroho Notosusanto ini.

Nah, Era reformasi punya kewajiban untuk meluruskan sejarah bangsa ini. Bermanfaat sebagai pegangan perjalanan bangsa kedepan dan menghindari hantu G30 S yang dibangkitkan setiap tahun oleh para oportunis politik yang membonceng isu ini.

Tidaklah berlebihan, pidato pendiri bangsa ini, Ir. H. Soekarno di hadapan MPRS tahun 1966,  masih relevan sampai dengan saat ini, "Djangan Sekali-kali Meninggalkan Sedjarah!".

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun