Tetapi persepsi yang terbentuk di masyarakat sudah sulit berubah. Bagaimanapun sepak terjang KAMI akan selalu dikaitkan dengan urusan politik.
Citra dan persepsi publik memang seperti pedang bermata dua,bisa mengorbitkan seorang politikus secara instant atau menghukum seorang politikus dengan kejam. Terlebih lagi dengan kondisi Indonesia saat ini, mayoritas masyarakat dengan tingkat literasi yang rendah. Publik cenderung jarang/malas melakukan riset atau cek n ricek informasi yang diterima dan biasanya langsung menelan mentah-mentah, persepsi yang dibentuk oleh medsos atau media yang tidak kompeten.
Nah, untuk menghindari stigma ini, sebaiknya para deklarator KAMI ini segera mengubah gerakan ini menjadi sebuah partai politik. Selain menghindari persepsi negatif dari masyarakat, alangkah baiknya para pentolan KAMI menunjukkan jenis kelaminnya sebagai orang-orang yang berkecimpung di dunia politik. Kalau memang ingin berkuasa silakan, asal sesuai dengan koridor hukum dan perundangan-undangan.
Mumpung Pilpres masih 4 tahun lagi, masih ada waktu bagi KAMI -apabila berubah menjadi partai- melakukan konsolidasi.Â
Lagi pula kalau para deklarator KAMI selalu kukuh mengatakan gerakan ini adalah gerakan moral, siapa yang berani menggaransi bahwa beliau-beliau ini adalah orang yang paling bermoral di negara ini.
Dalam hal ini, jejak langkah Fahri Hamzah boleh dijadikan sebagai panutan, setelah tersingkir dari PKS, dengan jantan beliau membentuk Partai Gelora, tujuannya jelas, jenis kelaminnya jelas, kritiknya membangun, menghindari politik playing victim dan tidak menjual kesengsaraan rakyat demi syahwat kekuasaan.Â
Melihat realita, mohon maaf bapak/ibu deklarator KAMI, persepsi di masyarakat sudah mencap kalian sebagai aktivis politik, nasi sudah menjadi bubur, tidak mungkin masyarakat menjuluki kalian sebagai moralis atau panutan moral di negara ini.
Salam