Sambungan Artikel  Mitigasi Konflik Ekonomi Dengan Lingkungan di Danau Toba (1)
Sejarah Keramba Jaring Apung (KJA) di Danau Toba.
Masyarakat di sekitar Danau Toba mulai mengenal Budidaya KJA sejak tahun 1986. Diperkenalkannya budidaya pembesaran ikan dengan sistem KJA di Danau Toba, merupakan tindak lanjut  keprihatinan Pemerintah Pusat dengan kondisi ekonomi masyarakat di sekitar Danau Toba yang masih belum beranjak dari garis kemiskinan. Kemiskinan ini lebih banyak disebabkan oleh kurangnya lahan pekerjaan, kondisi tanah yang kurang subur dan sektor pariwisata yang belum bisa diandalkan. Kemiskinan yang kental di wilayah Tapanuli, malah sampai menginspirasi seorang seniman Tapanuli untuk menciptakan sebuah lagu berjudul Peta Kemiskinan.
Pada saat itu Pemerintah pusat menginisasi sebuah program yang diberi nama "Operasi Khusus Maduma" , kemudian lebih dikenal dengan Opsus Maduma. Opsus yang dipimpin oleh Solihin GP ini, bertujuan untuk mengentaskan kemiskinan masyarakat di kawasan Danau Toba. Opsus ini sendiri bekerjasama dengan lembaga donor milik Amerika Serikat, USAID.
Seiring dengan perkembangan teknologi budaya dan penerapan pemberian pakan ikan secara intensif, populasi KJA masyarakat di kawasan Danau Toba semakin marak. Pada awal tahun 2000-an,pelaku budidaya KJA semakin bertambah dengan mulai turunnya korporasi di sektor ini, Â mereka mulai berivestasi pada sektor budidaya pembesaran ikan nila.
Nah, seperti lazimnya dialami umat manusia sejak revolusi industri, bertambahnya populasi KJA di Danau Toba tak pelak membuatnya bergesekan dengan kondisi lingkungan yang diharapkan tidak terdegradasi dan tetap lestari.
Gesekan ini harus secepatnya diselesaikan sebelum terjadi konflik terbuka dan kerusakan lingkungan yang semakin parah.
Tantangan dan Kendala Mitigasi Konflik Ekonomi dan Lingkungan di Kawasan Danau Toba.
Dalam sejarah manusia modern, kepentingan lingkungan akan selalu berbenturan dengan usaha mendapatkan sumber- sumber ekonomi. Benua Eropa sudah mengalaminya sejak Era Revolusi Industri. Mengutip laman hijauku.com, perkembangan industri dan kemakmuran di Benua Eropa harus dibayar dengan kerusakan lingkungan serta kualitas udara yang menurun.
Bercermin pada yang terjadi di Benua Eropa, sepertinya penyelesaian masalah lingkungan versus sumber-sumber ekonomi di kawasan Danau Toba bersifat kompleks, perlu diurai satu persatu serta membutuhkan kajian dan regulasi yang matang.Â
Sebelum mencari solusi, tentu harus dicari dulu akar masalahnya. Nah, berikut beberapa masalah yang dihadapi :
1. Penerbitan peraturan yang terburu-buru dan tidak berdasarkan kajian yang matang, menghasilkan kebijakan yang prematur dan rentan.
Ternyata, Penelitian Dinas Lingkungan Hidup Sumatera Utara -yang menjadi dasar pembatasan produksi KJA di Danau Toba- kembali dipertanyakan setelah hasil penelitian Prof Endi Kartamiharja, Peneliti Litbang Kementerian Kelautan dan Perikanan RI, dipublikasikan oleh media suara tani.com. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa penyumbang utama unsur hara yang merubah Danau Toba menjadi Danau yang subur adalah dari aliran sungai, bukan dari budidaya KJA sebagaimana disimpulkan oleh Dinas Lingkungan Hidup Propinsi Sumatera Utara. Kesimpulan ini juga ternyata tidak bertentangan dengan pernyataan Kepala Seksi Pengendalian Pencemaran Air Rumah Tangga Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLH-K) RI Witono,  yang menyatakan berdasarkan beberapa sampel sungai di Indonesia yang mereka kaji, 75% sudah tercemar berat. Sementara kontribusi limbah domestik di beberapa sungai besar di atas 60%.
Dengan hasil penelitian yang berbeda ini, menjadi wajar apabila para pelaku budiddaya KJA mempertanyakan legitimasi keputusan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang pembatasan produksi budidaya KJA di Danau Toba yang ditetapkan maksimal 10.000 ton.
Belum lagi, apabila dikomparasi dengan hasil penelitian dari LIPI, BPPT, University Rhode Island.Â
2. Aksi Pemangku Kebijakan yang belum holistik dan selalu diwarnai ego sektoral
Pelanggaran terhadap tata ruang kawasan ekosistem Danau Toba hingga saat ini terus dibiarkan. Meski Pemerintah Provinsi Sumatera Utara telah menetapkan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 1990 tentang Penataan Kawasan Danau Toba, dan pemerintah pusat membentuk Lake Toba Ecosystem Management Plant sebagai cetak biru perencanaan kawasan, tetapi hingga saat ini pelanggaran tata ruang dan zonasi tetap dibiarkan.
Belum lagi dengan terbitnya Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 81 tahun 2014 Â tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Danau Toba dan sekitarnya semakin membingungkan Pemerintah bawahan.
Sekarang  hambatan ada di Pemerintah Propinsi karena sesuai Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang, mengamanatkan bahwa peraturan daerah provinsi tentang rencana tata ruang wilayah provinsi disusun atau disesuaikan paling lambat dalam waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diberlakukan, artinya Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 1990 harus disesuaikan dengan peraturan yang lebih tinggi.
Salam
Bersambung
Artikel berikutnya akan membahas solusi untuk memitigasi konflik ekonomi dengan lingkungan. Ditunggu ya :-)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H