Setelah Presiden Jokowi resmi membubarkan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, beliau langsung membentuk Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional dan Penanganan Covid-19.  Kebijakan ini merupakan sinyal yang jelas dari Pemerintah, bahwasanya strategi  penanganan pandemi covid19 akan disandingkan dengan  langkah pemulihan ekonomi.
Kelihatannya pemerintah sudah mulai memanaskan mesin dan menyiagakan "quick response crisis". Ibarat berlayar, menghadapi ombak yang ganas, seorang nahkoda memang harus pintar membaca situasi  dan merespon badai dengan stategi yang dinamis, menyesuaikan dengan pergerakan ombak
Erick Tohir sebagai panglima Komite Penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional dan penanganan covid-19, akan bertugas meramu racikan kebijakan  Satuan Tugas Penanganan Virus Covid-19 yang diketuai oleh Doni Monardo dengan jurus ekonomi dari  Satuan Tugas Pemulihan Ekonomi Nasional yang dipimpin Wamen BUMN Budi Gunadi Sadikin.
Melihat data covid19 yang dikutip dari worldometers.info, grafik kasus terinfeksi dan kematian akibat covid19 di Indonesia masih terus menunjukkan peningkatan, demikian juga dengan data ekonomi yang dirilis oleh BPS dan BI juga menunjukkan kinerja yang mengkhawatirkan.
Selain itu, kabar perekonomian global juga menunjukkan kondisi yang suram, ancaman resesi mengintai.  Australia, Korea Selatan dan Singapura, sudah merilis berita yang menunjukkan Pendapatan Domestik Bruto mereka pada triwulan dua tahun tahun ini, mengalami kontraksi, artinya ke-3 negara ini sudah mengalami resesi.  Meskipun Laporan Kinerja Ekonomi Indonesia  triwulan II, belum dirilis, tetapi Presiden Jokowi memperkirakan Pendapatan Domestik Brutto Indonesia akan terkontraksi minus 4,5 %.
Prakiraan kinerja ekonomi ini, menjadi dasar yang kuat bagi  Pemerintah  untuk segera mengeksekusi kebijakan pemulihan ekonomi. Meskipun Pandemi covid19 belum menunjukkan tanda-tanda mereda, pemulihan ekonomi harus segera dilaksanakan, demi  mengejar perbaikan ekonomi di Triwulan III tahun ini, yang diharapkan akan memulihkan pendapatan masyarakat dan pemerintah.
Selain itu, Pemerintah juga punya dasar argumen yang kuat untuk segera melaksanakan pemulihan ekonomi. Kinerja ekonomi kita di bulan Juni atau setelah pelonggaran PSBB, menunjukkan indikator yang cukup melegakan. Di bulan Juni, Â Neraca ekspor - impor kita surplus, tingkat konsumsi rumah tangga meningkat dan cadangan devisa kita juga mengalami peningkatan yaitu menjadi 131 Milyar Dollar, yang diperkirakan cukup membiayai impor selama 8 bulan.
Meskipun tanpa alasan dan data-data tersebut, bagaimanapun juga, untuk menambah pemasukan negara, pemerintah harus memulai pemulihan ekonomi. Karena, biaya melawan covid19 ini juga tidak murah, mengutip berita Kompas tanggal  29 Juni 2020, besaran biaya perawatan pasien covid19 bisa mencapai ratusan juta rupiah, dan itu semua ditanggung oleh negara.  Belum lagi, peningkatan gelombang pekerja yang di PHK serta UKM yang mulai megap-megap dan harus menyetop operasionalnya.
Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana dengan kinerja sektor kesehatan kita yang belum juga membaik, apakah akan ditinggalkan? Seharusnya tidak, karena pandemi virus corona ini taruhannya adalah nyawa masyarakat.  Tetapi ada satu hal yang melegakan, meskipun pandemi ini belum selesai, sebenarnya Pemerintah dan masyarakat sudah tahu akar masalahnya.  Masalah paling fundamental yang belum bisa kita selesaikan, berada di diri kita sendiri yaitu  kedisiplinan. Pemerintah dan masyarakat, belum disiplin menerapkan protokol  "New Normal" yang sudah  disepakati.  Di satu sisi, Pemerintah tidak disiplin dan konsisten dalam melakukan tes dan pelacakan virus secara agresif (rasio test covid19 masih di angka 7,5 orang per 100 ribu penduduk) dan disisi lain, masyarakat juga tidak disiplin menerapkan protokol pencegahan covid19 seperti jaga jarak, kewajiban memakai masker dan menerapkan pola hidup bersih.
Sebelum vaksin sinovac selesai menjalani uji klinis III (yang diperkirakan keluar hasilnya di bulan September 2020),  pemerintah nampaknya harus punya solusi untuk menyelesaikan masalah karakter kedisiplinan bangsa ini.  Presiden Jokowi harus mendorong Satuan Tugas Penanganan Virus Covid-19  untuk melaksanakan test dan tracing covid19 secara ketat dan agresif, kalau perlu pecat saja personil Satuan Tugas  yang tidak mampu bekerja dan sudah saatnya juga organ negara ini seperti TNI, Polisi dan Satpol PP diturunkan untuk mengawasi secara ketat penerapan protokol "New Normal" di masyarakat, kalau perlu, siapa yang melanggar diberi sanksi yang tegas.Â
Pandemi covid19, menjadi momen yang tepat bagi Pemerintah untuk mendisiplinkan masyarakat, mengedukasi kedewasaan masyarakat, minimal dapat meniru warga Korea Selatan, Swedia dan Singapura  yang sudah dewasa dan disiplin menerapkan protokol pencegahan covid19. Jangan membuai masyarakat dengan bansos-bansos yang tidak mendidik dan tidak tepat sasaran, selain lebih banyak mudaratnya, malah cenderung menjadi bancakan politikus di daerah dalam menggaet popularitas pada kontestasi Pilkada yang akan dilaksanakan tahun ini.
Mau tidak mau, meskipun pahit, pemulihan ekonomi harus disandingkan dengan perlawanan menghadapi virus corona ini. Realitasnya, kita dan Pemerintah butuh dana untuk melawan covid19, yang notabene memang mahal. Â Peningkatan pendapatan, Â akan memperpanjang nafas Indonesia menghadapi pandemi covid19, Â yang belum tahu kapan berakhir.Â
"Pelaut yang hebat tidak lahir dari lautan yang tenang melainkan adalah dia yang mampu melewati badai dengan selamat "
Bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menghadapi tantangan, Â sesulit apapun itu.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H