Mohon tunggu...
H.D. Silalahi
H.D. Silalahi Mohon Tunggu... Insinyur - orang Tigarihit

Military Enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Politik

Indonesia Butuh Poros ke-3, Bukan Kadrun dan Bukan Cebong

14 Juli 2020   02:21 Diperbarui: 22 Juli 2020   21:23 497
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rambu Simpang Tiga (toko rambu.com)

Kontestasi Pemilihan Presiden 2014,  ternyata menyisakan residu politik yang tidak bisa hilang sampai sekarang.  Pertarungan ketat Koalisi Merah Putih yang menjagokan Prabowo dan Koalisi Indonesia Hebat yang mengusung Jokowi, menciptakan polarisasi di akar rumput. Polarisasi  ini memunculkan 2 pendukung, atau boleh disebut 2 poros , yaitu poros cebong dan poros kampret.  Cebong untuk pendukung Jokowi dan  kampret buat para pendukung Prabowo.

Sebutan cebong dan kampret sendiri tidak ujug-ujug muncul begitu saja,  awalnya para pendukung kedua calon presiden memprovokasi kubu lawan dengan julukan "panasbung" dan "panastak", singkatan dari pasukan nasi bungkus dan pasukan nasi kotak yaitu sebutan bernada mengejek bagi para pendukung kedua kubu yang memang sering mendapat jatah nasi bungkus dan nasi kotak ketika berkampanye.

Sebutan cebong sendiri kemungkinan besar berasal dari hobi Pak Jokowi memelihara kodok di Balai Kota, Kantor Gubernur DKI.  Kampret sendiri muncul dari pendukung Pak Jokowi yang kesal dipanggil cebong.

Polarisasi di periode pertama, berlanjut di pemilihan Presiden berikutnya. Sebutan cebong dan kampretpun makin mengkristal pada kedua pendukung calon Presiden ini. Boleh dibayangkan pada kontestasi pilpres 2019, setiap orang yang pro dan kontra, siapapun orangnya, pasti dilabeli julukan yang cebong dan kampret. Julukan yang sejatinya merupakan nama binatang, kampret merupakan nama lain dari kelelawar sedangkan cebong sediri merupakan cikal bakal binatang kodok. 

Entah kenapa, masyarakat Indonesia terutama netizen gemar membandingkan segala sesuatu, dan  berbagai hal, yang sayangnya tidak menghasilkan hal yang konstruktif, malah berakhir menjadi friksi yang tajam dan menciptakan fanboys-fansboys fanatik. 

Komparasi itu malah menyangkut hal-hal receh dan tidak bermanfaat. Contohnya saja, perbandingan sepeda motor merek Honda vs Yamaha, Honda Beat vs Yamaha Mio, Honda CB vs Yamaha Vixion, Raisa vs Isyana, JKT 48 vs Cherrybelle,  AS vs Rusia dan berbagai hal,  yang menciptakan 2 kubu fanatis yang berlawanan.

Kembali ke cebong versus kampret, dengan berakhirnya Pilres 2019, Pak Prabowo memilih bergabung dan berkerjasama dengan Pak Jokowi di Pemerintahan. Tetapi  kedua poros ini seperti tidak rela berdamai, cebong dan kampret tetap asyik dengan pertarungannya.  

Meskipun Pak Jokowi dan Pak Prabowo sudah menyerukan rekonsiliasi dan meminta para pendukungnya menyudahi kubu-kubuan ini, tetap saja sebutan kampret dan cebong menjadi label resmi kedua poros ini.  

Akhir-akhir ini, bukannya makin mereda, kampret malah bermetamorfosis menjadi kadrun, kadal gurun.....ha.ha.ha. Hanya di negeri +62, bisa ditemukan kelelawar yang mampu bermetamorfosis menjadi kadal. 

Tetapi, sudah menjadi hukum alam, sesuatu yang berlebihan pasti membuat tidak nyaman. Akhir-akhir ini, sebutan cebong dan kadrun membuat sebagian orang gerah. Bagaimana tidak, tokoh yang sudah teruji integritasnya seperti Ibu Susi Pujiastuti  malah dijuluki kadrun ketika mengkritik Pemerintah, demikian juga dengan tokoh-tokoh lain, dijuluki cebong ketika memuji kinerja Pemerintah.  Gawat, ini namanya bullying berjamaah terhadap orang-orang yang tidak sepaham. 

Situasi ini membuat kehidupan berdemokrasi tidak sehat. Bukannya esensi demokrasi adalah menghargai kebebasan berekspresi dan berpendapat? Demokrasi yang sehat mampu menghargai perbedaan dan setiap warga negara dijamin kebebebasannya untuk mengutarakan ide dan pemikirannya. Dalam dinamika berdemokrasi, negara butuh orang waras yang berakal sehat serta mampu melihat setiap persoalan dengan dengan jernih,  mana yang benar dan mana yang salah.  Tetapi keberadaan kubu kampret dan cebong ini membuat situasi politik mengalami kebuntuan. Masyarakat digiring untuk memihak salah satu dari kedua kubu ini, masyarakat seperti tidak punya pilihan lain. Alhasil,  masyarakat dan politikus risih mengeluarkan pendapat yang berbeda, karena bisa dipastikan salah satu dari kedua kubu ini, memberi label cebong atau kadrun. 

Situasi ini tidak bisa dibiarkan,  Indonesia butuh poros baru. Poros yang  mengakomodasi masyarakat waras berakal sehat.  Masyarakat yang mampu mengkritik pemerintah ketika salah dan  dengan sportif  memuji pemerintah ketika berada dalam trek yang benar. Meskipun tidak bersuara nyaring, masih lebih banyak masyarakat Indonesia yang ingin kehidupan demokrasi dan politik berjalan normal dan sehat. Sejarah membuktikan, Indonesia pernah menginisiasi Gerakan Non Blok, gerakan yang bertujuan tidak mau terjebak dalam perang dingin antara kubu Timur dan Barat. 

Selamat tinggal cebong dan kadrun. Kami akan membuat poros baru, poros masyarakat waras berakal sehat.

Salam

Prediksi Pertandingan Premier League Chelsea vs Norwich City

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun