Pandemi COVID-19 dengan dampak yang berkepanjangan pada berbagai aspek kehidupan ini mengajarkan setidaknya 2 hal penting dalam konteks pendidikan. Dua hal ini sangat bersambung pula dengan tuntutan era disrupsi.
Pertama, ada banyak hal (lain) yang bisa dipelajari.
Kedua, ada banyak cara (lain) untuk belajar
Bagi tenaga pendidik dan murid, hal ini sangat relevan dan mendesak untuk didiskusikan bagaimana mengimplementasikannya. Kita urai satu persatu.
Ada banyak hal yang bisa dipelajari
Ketika kita mencari bacaan mengenai skill dan pekerjaan yang paling dibutuhkan di masa depan dan mengungkapkan hasil bacaan kita secara jujur, kita akan menemukan bahwa kurang lebih 75%-nya berkaitan dengan dunia digital. Mulai dari progammer, designer, digital marketer, web developer, sampai data analyst. Dan dari 75% itu tak ada yang diajarkan di sekolah.
Oke, kita berkilah bahwa sekolah memberikan pengetahuan dasar yang penting. Tapi apakah memberikan banyak pengetahuan dasar adalah bijak disaat dunia semakin membutuhkan keahlian spesifik? Jelas tidak. Itu sama artinya kita membangun pondasi terlalu luas dan dalam, tapi tidak pernah membangun dinding dan atapnya.
Dulu ketika seseorang hendak membangun sebuah rumah/bangunan ia hanya perlu beberapa tenaga tukang. Sekarang dengan semakin mewah dan lengkapnya fitur bangunan, seseorang perlu mencari arsitek untuk desainnya, insinyur teknik sipil untuk perhitungannya, seorang akuntan untuk menghitung keluar masuknya uang, ahli listrik, manajer, sampai tukang dan kuli pekerja kasarnya.
Begitu juga untuk membangun sebuah web. Dulu, seseorang membuat web cukup dengan WordPress atau Blogger. Sekarang dengan semakin kompleksnya web yang multifungsi, tidak cukup dikerjakan oleh seorang web developer saja. Setidaknya butuh seorang progammer html untuk pondasi webnya. Progammer php agar webnya berjalan dinamis. Progammer css agar tata letak web terlihat rapi dan menarik, sampai ux designer-nya agar antarmuka web mudah dipahami pengunjung. Bayangkan untuk membuat dua hal itu, kita butuh banyak sekali kemampuan spesifik dari para ahlinya. Untuk tingkat kesulitan lebih tinggi sedikit, website e-commerce, misalnya, bahkan bisa membutuhkan lebih banyak orang. Seperti pernah diceritakan oleh Leogent Haromunthe, adik Saya yang bergiat di bidang pembuatan software e-Commerce. Lebih tinggi lagi, misalnya untuk manufaktur bioteknologi, jumlahnya bisa semakin banyak pula.
Say Ramdhan, seorang teman Facebook, mengurai fenomena ini secara sederhana dan mengena di group L.I.K.E Indonesia (Lingkar Inspirasi Keluarga Indonesia). Ia menjelaskan bagaimana kita harus berdamai dengan kenyataan bahwa semakin banyak profesi baru untuk satu keperluan. Dan sekolah kita yang sampai 12 tahun bahkan tidak mampu menentukan akan menjadi apa siswanya. Sebaliknya, keperluan lain yang selama ini dikerjakan banyak orang, akan membutuhkan semakin sedikit tenaga kerja.
Dengan kegagalan itu, akhirnya banyak orang yang harus mencari keahlian tambahan selepas lulus SMA bahkan SMK. Baik melalui kuliah atau kursus lainnya. Nah, apakah semua pengetahuan dasar dari sekolah diperlukan untuk belajar pengetahuan tambahan ini? Jelas tidak.