Mohon tunggu...
Donald Haromunthe
Donald Haromunthe Mohon Tunggu... Guru - Guru Seni Budaya di SMA Budi Mulia Pematangsiantar

Saya juga menulis di donald.haromunthe.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Balik Nama

1 April 2017   04:51 Diperbarui: 1 April 2017   13:00 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tersebutlah bahwa menurut sekelompok orang - yang mengatasnamakan ajaran tertentu, dan ajaran tertentu itu mengatasnamakan diri sebagai ajaran yang paling benar - seorang figur publik dianggap, dituntut, dicaci dan didesak untuk mundur dari kedudukannya sebagai pemimpin di sebuah lembaga pemerintahan karena sebuah perkataan yang dinilai sebagai penistaan terhadap ajaran mereka.

Entah tau atau tidak, entah tau tapi peduli atau tidak, sejatinya perkataan yang dimaksud itu sudah diedit dan dipelintir pula. Maka, klop-lah. Makin beranilah mereka memperjuangkan anggapan, tuntutan dan desakan mereka. Tentu saja, cacian dan sumpah serapah mengiringi aksi super-duper berani dan ramai itu. Alhasil, bipolaritas pun menjadi dua realitas sosial di kota itu: pasukan kotak-kotak versus pasukan berjubah putih.

That's the end of the story. By the way on the busway You Got A Way and I'm Only One Call Away (begh ....), story tadi bukan tale loh. Ribuan media di Indonesia menyorot sosok fenomenal ini kok. Sungguh terlalu jika pembaca tidak tahu siapa yang saya maksud.

Lantas, apa hubungannya dengan humor tadi?

Pembalikan nama dalam cerita humor tadi menjadi lucu karena merupakan visualitas versi lucu dari apa yang selama ini banyak terjadi pada setiap aksi massa. Entah itu class action, street firing mass, #twitwar, debat kusir, atau saling pentung.

Memangnya apa yang terjadi? 

Yang terjadi ialah: Massa membiarkan diri digiring oleh alur pikir dan framing dari informasi yang disesuaikan dengan kehendak si Tuan Besar. Si Tuan Besar ini bisa siapa saja, bisa pribadi, bisa organisasi, bisa agama, bisa fanatisme kelompok, ataupun radikalisme peer group. Ciri utamanya: Si Tuan Besar ini punya kuasa terhadap massa. Berhubung roda itu jalannya kadang di bawah, kadang di atas, si Tuan Besar akan melakukan apapun supaya ia selalu di atas.

Jika massa kritis, maka mereka akan menemukan bahwa urutasn sebenarnya kejadian ialah:

  1. Si Figur Publik tadi berorasi (dalam sebuah kesempatan kunjungan kerja)
  2. Orasinya untuk audiens tertentu (sejauh ini terkonfirmasi bahwa audiens sendiri tidak keberatan dengan isi orasi tersebut
  3. Isi orasinya menyoal konteks tertentu (bahwa Orang bisa saja menggunakan Otoritas apapun untuk menguatkan efek kekuasannya, termasuk jika harus setiap saat melakukan logical fallacies (kesesatan logika) dalam kata dan tindakan. Entah itu dengan ad auctoritatem, kata-kata dalam Kitab Suci, atau referensi lain yang dianggap akan didengarkan oleh massa). Adapun keperluan orasi itu adalah untuk mengedukasi massa bahwa sejatinya jika tidak menggunakan kesesatan logika tadi, massa akan melihat bahwa kekuasaan tersebut mendatangkan mudarat bagi massa, bukan manfaat. Ketik saja "korupsi di Jakarta" di address bar ketika Anda browse di internet, maka Anda langsung mengerti maksudnya.
  4. Lalu datanglah Sumber Kedua, seorang yang lain mengedit orasi tersebut, mengunggah editannya di sebuah akun media sosial miliknya. Editannya lalu dibaca oleh massa.

Sialnya, di hati para peserta aksi Anggapan, Tuntutan dan Desakan tadi, alur pikir yang terjadi adalah sebaliknya.

  1. Versi dari Sumber Kedua itulah yang benar.
  2. Maka, jelaslah, si Figur publik tidak suka dengan kelompok ajaran tertentu
  3. Karena itu, si Figur Publik mengeritik ajaran tertentu itu dengan menyitir ayat-ayat kitab suci mereka.
  4. Menyerang ajaran kita berarti menyerang kelompok kita. Maka kita tidak boleh diam. Ayo bergerak.
  5. Maka, setelah menilik primbon, menilik partikkian yang simbolis, terjadilah ...

412 ...

212 ...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun