Orang Batak suka berkumpul. Suka berkomunitas. Terbukti dari perhelatan ini juga.
Mereka adalah sukarelawan yang bergerak sendiri, jadi buzzer efektif dan pembela soft tourism Danau Toba.  Mereka prihatin melihat tidak optimalnya potensi wisata Danau Toba. Tetapi mereka juga tidak rela jika kearifan lokal tergilas begitu saja jika kultur masyarakat Danau Toba di tujuh kabupaten begitu saja disamaratakan dengan kultur Monaco.
Lapak-lapak ini adalah agen efektif yang bisa menjadi counter position bagi para "raja-raja kecil", entah yang duduk di pemerintahan, maupun para tikus kue anggaran 21 Triliun dengan mengatasnamakan rakyat kecil.
Tentu saja, penghuni lapak-lapak ini umumnya adalah warga awam dengan karakter seperti disebutkan di atas. Awam yang tidak mengerti bagimana bisa caruk-maruk kerusakan lingkungan Danau Toba masih terjadi sampai hari ini. Jelas, mereka punya interest yang sama:
Saya dukung pariwisata Danau Toba, tapi tolong kita jaga bersama keindahannya.
Menurut hemat saya, ini senada dengan amanat pemimpin negara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H