Bukan rahasia lagi bahwa bottleneck utama pada hampir setiap rencana pengembangan kawasan pariwisata adalah silang pendapat antara para pemangku kepentingan dari daerah-daerah yang beririsan dengan kawasan yang dimaksud. Dalam hal ini, di Danau Toba, ada tujuh kabupaten dan ketujuh perangkat pemerintahan kabupaten. Tidak persis benar bahwa setiap dari mereka adalah raja-raja kecil yang enggan bersinergi membangun Danau Toba. Tetapi jika pembaca mengikuti alotnya proses yang mesti ditempuh bahkan sekedar mendapatkan tanda-tangan dari ketujuh bupati, maka juga tidak salah untuk mengaffirmasi mental "raja-raja kecil" yang mesti ikut di-revolusi.Â
- Para warga yang awam dengan seluk-beluk pengembangan infrastruktur pariwisata ini tidak punya bahan untuk disuarakan tanpa harus terlihat sebagai membawa kepentingan tertentu. Â
- Mereka umumnya jauh dari akses ke pengambilan keputusan untuk membangun infrastruktur, tapi senang ketika aksesibilitas mulai menemui titik cerahnya dengan semakin rutinnya flight Jakarta-Silangit.Â
- Mereka menanti-nanti view yang menjanjikan kesejahteraan rakyat lokal ketika jalan tol dari Medan ke Tebing Tinggi selesai dibangun.Â
- Mereka berharap banyak pada Badan Otorita Danau Toba, yang diharapkan mampu memfasilitasi agenda pengembangan wisata yang berorientasi warga.
- Menyuarakan ulang penutupan Toba Pulp Lestari, dinilai adalah riak kecil saja. Tidak sebanding dengan lobi-lobi bisnis tingkat tinggi antara pemberi izin dengan pemilik modal, yang tak selalu mudah untuk mendapatkan data publikasi audit eksternalnya.
- Berteriak "Tutup Keramba" untuk Danau Toba yang bersih di tengah duka para petani keramba jaring apung di Haranggaol yang baru saja kehilangan 1.820 ton panen ikan adalah pilihan yang sulit pula.
- Tidak mudah juga mengambil sikap opini yang aman ketika Mr. Freek, sang bos Aquafarm ditemui oleh Persatuan Wartawan Indonesia cabang Sumatera Utara.Â
- Begitu juga dengan PT Japfa, buruknya tata kelola limbah rumah tangga, dan sederet litani yang mengakselerasi rusaknya konservasi alam Danau Toba.
Maka, berpartisipasi dalam acara seperti perhelatan besar yang baru terjadi kemarin ini adalah momen yang berterima bagi kebanyakan orang awam, termasuk saya.
"Pokoknya, saya setuju Danau Toba jadi destinasi wisata, tetapi untuk masukan ke Badan Otorita Danau Toba berikut sekuens kebijakan yang akan dihasilkan, bukan ranah saya."
Ikut jalan santai atau hanya meramai-ramaikan saja acara Fun Walk for Wonderful Toba ini saja pun adalah sesuatu yang bisa dilakukan oleh sesama kami orang awam. Jika cermat membaca, emosi yang terpantul dalam keriuhan acara ini adalah petunjuk alternatif solusi yang mestinya dimarakkan guna membantu Jokowi melakukan "Yes Set" bagi segenap pemangku kepentingan itu. Inilah terjemahan dari para putra-putri bona pasogit, yang merasakan sumber spiritualitas mereka dengan "huta-huta na humaliang Tao Toba" yang tidak tahu persisnya harus berbuat apa untuk mengembalikan keindahan Danau Toba, tetapi tetap ingin berpartisipasi di dalamnya.
Maka senada dengan Menko Perekonomian Rizal Ramli yang mengajak semua masyarakat agar berpartisipasi untuk mempromosikan Danau Toba, agar terkenal di dunia‎, inilah yang dilakukan oleh para partisipan event besar ini.
Ada SI DIA di Wonderful Toba
Melihat animo yang luar biasa besarnya, acara Fun Walk for Wonderful Toba yang digagas oleh Komunitas Horas Halak Hita (H3) ini memang semestinya dipersiapkan lebih baik.Â
Menarik melihat bahwa peran komunitas yang selama ini tanpa publikasi masif di media massa utama ternyata adalah engine yang turut menjadi encouragement bagi siapapun yang ingin mengakselerasi pengembangan wisata Danau Toba. Banyak peserta datang sebagai kelompok atau komunitas turut menciptakan euforia disana. Ada kelompok gereja, punguan se-marga, ada pula punguan satu huta hatubuan (sekampung halaman), misalnya SI DIA.
Bersama dengan teman-teman yang tergabung dalam SI DIA (Sidamanik Diaspora), saya menyaksikan euforia itu. Para kaum muda perantauan yang berasal dari daerah Sidamanik ini merasa mesti ikut mendukung acara promosi ini. Meskipun dataran tinggi Sidamanik yang terkenal dengan perkebunan teh milik PTPN IV itu tidak persis berada di pinggiran Danau Toba, tetapi sekelompok anak muda ini memahami bahwa ada multiplier effect pariwisata Danau Toba yang mesti didukung, dimonitor dan dievaluasi sehingga benar-benar mencerminkan pariwisata yang berorientasi warga.
Optimalkan Lapak