Dalam konteks branding pariwisata Danau Toba, ini berarti komitmen untuk sustainability. Bukan apa, soalnya, setiap kesan pertama itu bisa disulap. Jika pengembangan KSPN Danau Toba mesti diletakkan dalam konteks sustainable and holistic ecotourism, maka gebrakan branding-nya juga mesti demikian.
Kopi Humbang, Kopi Sidikalang, Kopi Simalungun atau daerah lain dari kaldera Toba yang lain tidak akan singgah di lidah para penikmat kopi di resto sebuah hotel jika tidak mengikuti standar peracikan kopi yang seorang barrista coffee pun membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk bisa mahir menguasainya. Sulit dibayangkan bahwa EO sebuah konvensi berkelas internasional akan menandatangani kontrak dengan para penari tortor yang tidak terorganisir dengan baik.
Para hoteliers, entah pribumi dari kawasan Danau Toba atau bukan, tidak akan dilirik oleh operator hotel kelas internasional jika tidak memiliki rekam jejak yang baik.
Yang bertahan hingga akhir, ialah mereka yang selalu menciptakan kesan kedua, ketiga dan ke-sejuta berikutnya ... yang lebih "wah" daripada kesan pertama.Â
(Seperti aslinya dalam blog saya)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H