Menilik AlasanÂ
Doyan Menikmati Masa Lajang
"Kapan menikah?" pertanyaan klasik dan paling membebani secara psikologis bagi kaum lajang yang doyan alias sengaja tak kunjung menikah.
"Peduli amat!", ada yang tanpa beban menanggapi. Tak terganggu dan lebih sibuk fokus pada hal lain, misalnya karier.
Namun bagi yang mudah terganggu secara psikologis, biasanya semakin merasa tertekan bila pertanyaan klasik tadi disusul pernyataan yang lancang alias sok tahu, seperti ...
"Hati-hati loh dunia udah hampir kiamat, kamu belum-belum nikah juga!" atau, "Makanya jangan suka milih pacar, akhirnya rasakan akibatnya sekarang. Belum punya pasangan juga!"
Demikian kerap pernyatan sok tahu yang makin buat orang tertekan secara psikologis.
Kemungkinan sikap sok tahu alias lancang tersebut lahir dari ketidak pahaman alasan mengapa mereka betah lama tak menikah, atau memilih tak perduli kapan menikah.
Berikut beberapa alasan sering jadi sebab seseorang memilih doyan berlama-lama menikmati melajang atau bersikap, "Peduli amat kapan menikah!"
Berharap dengan membahasnya dapat menyadarkan atau setidaknya menginsafkan para si bermulut lancang untuk kemudian bersikap lebih ramah, haha.
Berharap pula dengan membicarakannya semakin memantapkan sikap menikmati melajang bagi mereka yang tengah mejalaninya, atau sebaliknya terpantik untuk mencoba menyudahinya, hehe.
Pertama, adanya perceraian orang tua.
Orang tua yang bercerai merupakan modal yang tak baik bagi anak. Kondisi tersebut kerap kali juga menyebabkantrauma pada anak.
Dampak dari hal demikian, anak akan takut menikah. Mereka kuatir apa yang terjadi pada orang tuanya akan terjadi pada dirinya.
Apalagi jika perceraian itu disertai dengan kekarasan dalam rumah tangga.
Kedua, punya pengalaman tidak menyenangkan dengan calon pendamping.
Tak jarang menjadi ini jadi sebab seseorang menunda pernikahan. Misalnya, pernah dikhianati atau alami perlakuan yang buruk dari calon pendamping.
Kondisi-kondisi demikian juga menyebabkan trauma untuk menjalin hubungan kembali dengan yang lain.
Memang tidak mudah untuk menghilangkan rasa trauma. Butuh upaya keras, kadang juga butuh penanganan psikologis secara intensif guna menangani trauma tersebut.
Ketiga, sibuk urusan karier.
Hal ini dilakukan baik dalam rangka aktualisasi diri atau bisa jadi sebuah bentuk kekecewaan karena sesuatu hal.
Mereka yang sibuk dengan urusan karier seakan tak punya waktu lagi untuk memikirkan kehidupan keluarga. Hari-harinya selalu disibukkan dengan urusan untuk mengejar karier yang lebih baik.
Bahkan, ada yang berkeyakinan bahwa berkeluarga akan menghambat karier sehingga lebih memilih untuk menundanya.
Keempat, merasa belum menemukan pendamping yang cocok.
Setiap manusia pasti mempunyai kelebihan dan kelemahan. Tidak ada manusia yang sempurna.
Ketika sudah menemukan seseorang yang dirasa nyaman, tetapi masih terus mencari yang lain yang lebih nyaman, maka pencarian itu seakan tidak pernah berakhir.
Pada dasarnya, fungsi pasangan suami istri adalah saling melengkapi kekurangan masing-masing.
Kelima, merasa kebebasan pribadi terganggu ketika berkeluarga.
Bagaimanapun ketika seseorang sudah terikat dalam sebuah pernikahan, keluarga adalah yang utama.
Dengan demikian, seseorang yang tadinya bebas melakukan kegiatan apapun secara mandiri, ketika sudah berkeluarga tentu akan berbagi bersama pasangan dan mempertimbangkan perasaan pasangannya.
Akhirnya, sebagai kesimpulan dapat dikatakan bahwa ada sejumlah alasan yang penting diketahui dari keberadaan mereka yang doyan menikmati masa lajangnya.
Mengatahui hal tersebut tak hanya dapat menolong kita untuk tak mudah mendiskriditkan mereka dengan pertanyaan dan pernyataan negatif yang membebani secara psikologis.
Di samping hal itu juga penting untuk menjadi masukan positif sekiranya ada yang bisa dilakukan untuk menolong mereka jika diperlukan.
Semogah bermanfaat![]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H