Perjalanan panjang 90 tahun bergereja tentu berkisah soal keberhasil juga kegagalan dalamnya. Tak jarang pula tantangan yang terus menghadang. Hal ini tentu dihadapi pula oleh GKP Jemaat Pangalengan dan GKP secara keseluruhan.
Dikemukakan oleh pendeta jemaat GKP Pangalengan, Pdt. Winda Yustanti, S.Si, bahwa secara lokal dengan berada pada daerah pedesaan yang mayoritas pekerjaan penduduk berorientasi pada pertanian, berdampak kurangnya pendatang di daerah Pangalengan karena terbatasnya lapangan pekerjaan.
Hal itu kemudian menjadi sebuah tantangan bagaimana memelihara jemaat yang terbatas secara jumlah untuk terus bertumbuh setia dalam keimanannya dan terlibat bersama mendukung pelayanan.
Tantangan yang sama dalam memelihara jemaat, dihadapi pula oleh GKP umumnya. Dalam penuturan pendeta yang sejak tahun 2001 menjadi pendeta GKP, dan sejak 2021 melayani di GKP Pangalengan ini, dikemukakan bahwa tugas misi penjangkauan di daerah Pasundan (Jawa Barat) adalah tugas yang berat. Namun lebih berat dari itu adalah tugas untuk memelihara dan medewasakan umat yang telah dipercayakan Tuhan.
Apa yang bisa dimaknai dari perjalanan ini adalah bahwa tantangan dalam hidup bergereja adalah realitas abadi yang tak terelakkan. Namun hal itu bermakna positif mengingatkan bahwa gereja masih menapak kakinya di dunia, ia perlu terus bergantung pada Pemiliknya, tak terkecuali GKP.
"Mohon dukungan doa bapak, ibu, saudara untuk GKP secara keseluruhan!" begitu pinta Pdt. Winda di sela sambutannya. Tentu ini sebuah sikap berbentuk tanggapan tepat pada semua tantangan di moment ulang tahun ke 90.Â
Kesetiaan Mengakar Pada Akar Budaya Sunda
Sebagai gereja yang lahir dan melayani dalam konteks budaya Sunda (Jawa Barat), Gereja Kristen Pasundan yang kini terdiri dari enam Klasis pelayanan (Jakarta, Priangan, Purwakarta, Cirebon, Bogor, Bekasi), dengan jumlah anggota jemaat 3000 Â lebih jiwa, terus berkembang seiring berkembang zaman.
Perkembangan GKP seiring berkembang zaman itu tak pelak melahirkan banyak perbedaan latar belakang kondisi jemaat yang hadir bergereja. Terdapat keaneka ragaman budaya, cara berpikir, dan karakter dari profil jemaat GKP secara keseluruhan sebagaimana dikemukakan pendeta Winda, Â
Kondisi jemaat semacam itu menurutnya tak terhindarkan berakibat secara umum saat ini banyak jemaat GKP yang tak lagi melangsungkan ibadah dalam bahasa Sunda. Sekalipun demikian menurutnya masih terdapat jemaat di daerah Bandung yang berusaha terus melangsungkan ibadah (liturgi) termasuk berkhotbah dengan menggunakan bahasa Sunda.
Apa yang bisa dimaknai dari kondisi perkembangan ini, bahwa ada upaya untuk tetap setia menjaga akar budaya tempat dimana ia lahir dan berkembang yaitu budaya Sunda di tengah arus deras perubahan yang terus menerpanya. Sebuah kondisi hidup bergereja yang ditunjukkan bukan sebaliknya mati hanyut terbawa arus perkembangan.