Inti dari semuanya adalah sikap hati kita. Hati yang benar akan menghasilkan tindakan yang benar.
"Kita harus berusaha mengampuni orang yang telah melukai hati atau menyusahkan kita! Ingatlah, Tuhan telah mengampuni semua kesalahan kita! Maka berusahalah mengampuni sesamamu!" suara pengkhutbah itu keras, memenuhi seisi ruangan.
"Ah, rasanya sulit mengampuni dia bila ingat beratnya derita yang ia hadirkan di hidupku setahun lewat. Rasanya tak akan!" omelan batin Agus dalam diam di antara ratusan jemaat, menanggapi nasihat pengkhutbah itu.
Adegan barusan adalah gambaran bahwa mengampuni atau memaafkan bukan perkara yang mudah. Hati manusia cenderung ingin membalas kejahatan dengan kejahatan. Pembalasan dendam menawarkan kepuasan bagi perasaan.
Godaan untuk balas dendam mungkin bisa sedikit berkurang jika orang yang bersalah kepada kita menyadari kesalahannya dan meminta maaf kepada kita.
Dalam situasi seperti ini, mereka yang memutuskan untuk mengampuni juga masih memiliki sebuah pergumulan atau masalah, yaitu sejauh mana pengampunan diberikan?
Maksudnya, apakah pengampunan selalu harus berupa pemulihan hubungan seperti sebelum kejahatan dilakukan?
Jika iya, bagaimana dengan mereka yang tidak menyadari kesalahannya dan tidak mau meminta maaf? Jika tidak, sejauh mana kebaikan perlu ditunjukkan?
Alkitab memberikan jawaban yang cukup realistis untuk persoalan ini dan menolong menerangi bagaimana harusnya kita bersikap.
Begini, tidak semua relasi memang dapat dipulihkan seperti sedia kala. Paulus menasihati kita untuk hidup damai dengan semua orang, tetapi dia memberi penjelasan, katanya,:"kalau hal itu bergantung kepada kamu" (Rm. 12:18).
Di tempat lain Paulus mengajarkan kita untuk tidak bergaul dengan orang yang bebal atau tak mau berubah, tetapi kita tetap harus menganggap dia sebagai saudara. Paulus menegaskannya begini: