Mohon tunggu...
Donald Siwabessy
Donald Siwabessy Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Book Artikel Utama

Catatan Pinggir Halaman Buku: Seni Mencintai dan Mengotori Buku

21 Mei 2024   11:36 Diperbarui: 22 Mei 2024   11:40 376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi "Seni Mencintai Dan Mengotori Buku" (Sumber: Freepik.com)

"Jika disuruh memilih membaca buku bentuk ebook (digital) atau buku berfisik (analog), saya lebih memilih baca buku berfisik! Kenapa? Alasannya praktis, bisa menyentuh halaman, membau aroma kertas (apalagi buku baru), merasakan jilid punggung buku, menggarisbawahi, menandai halaman buku."

Begitu sepenggal pernyataan saya dalam sebuah postingan status di akun facebook saya (@Doni'Aaron'Ben'Siwabessy), tertanggal 03 November 2022. 

Status facebook itu saya buat sebagai bentuk sambutan pada berlakunya program pemerintah RI kala itu, yaitu program migrasinya TV analog ke digital. Tanggal 03/11/2022 itu adalah hari pertama program itu diberlakukan atau dilaunching.

Apa hubungannya program pemerintah itu dengan buku? Ah, saya sengaja waktu itu gunakan moment itu untuk proklamasikan pada para friend FB saya, bahwa sekalipun teknologi TV sudah berdigital rupa, saya tetap mencintai buku beranalog rupa. Sesungguhnya itu maksud utama status fb itu. Ya, hitung-hitung sekalian pamerlah bahwa saya pencinta buku, haha.

Memang saya lebih lebih suka memilih membaca buku berbentuk fisik (analog) ketimbang buku yang berbentuk ebook (digital) sebagaimana alasan praktis pada pernyataan awal tulisan ini.

Belakangan saya baru tahu ada jurnalis bernama Nicholas Carr mengungkap sebuah fakta menarik lewat sebuah artikelnya yang dipublis di The Atlantic Magazine pada Juli 2008, dengan judul yang provokatif, "Apakah Google Membuat Kita Bodoh?", bahwa membaca teks digital dapat mengganggu konsentrasi dan mempercepat kelemahan mental. Fakta itu semakin menguat cinta saya pada buku analog.

Berkunjung ke toko buku Gramedia, 18/05/2024 (Sumber: Dokpri)
Berkunjung ke toko buku Gramedia, 18/05/2024 (Sumber: Dokpri)

Bebicara soal cinta buku, banyak orang mewujudnya dalam bentuk berbeda. Ada yang dengan cara memborong beli banyak buku, apalagi misalnya ada event bazar buku di Gramedia, wah makin asik cintanya, hehe. 

Ada yang seperti keluarga dari guru besar filsafat Franz Magnis Suseno, beliau mengkisahkan bahwa keluarganya sangat mencintai buku, hampir di setiap sisi rumahnya bisa ditemui buku diletakkan di situ agar mudah dijangkau untuk dibaca. Saya pernah dengar cerita ada juga orang yang sampai di kamar mandinya pun diletakkan buku di situ, wah ini mah lebih asik lagi cintanya, hehe.

Saya pribadi lebih mewujudnya dengan membaca buku sambil membawa pena dan stabilo untuk menandai atau menggaris bawahi bagian penting, atau juga membuat catatan pinggir pada halaman buku, sekadar menulis point yang didapat, semacam menandai supaya mudah ditemukan bila sewaktu-waktu diperlukan.

Kebiasaan membaca buku demikian itulah yang saya maksud seni mencintai buku. Dan lebih asyik lagi seni itu dilakukan bukan dengan menjaga kesucian dan kemolekkan bentuk tubuh buku, namun dengan menggauli hingga mengotorinya. 

Karena untuk apa mampu beli banyak buku namun hanya untuk didiamkan, tak disentuh apalagi dibaca. Kadang ada juga yang menjadikannya alat pencitraan dipajang di medsos, ternyata bukunya jablai alias jarang dibelai, haha.

Beberapa alasan mengapa saya memilih mencintai buku dengan cara demikian. Secara jujur saya terinspirasi menemukan alasan-alasan itu  dari apa yang dikemukakan oleh Tony Reinke dalam bukunya, "LIT! Panduan Membaca Buku Bagi Orang Kristen."

Pertama, mengklaim buku. Saya mengotori buku untuk mengklaim bahwa buku itu milik saya. Setiap kali membeli buku baru istri saya selalu sibuk mengingatkan untuk menulis nama di buku tersebut, maklum saya sering lupa, dan pernah kejadian buku dipinjam orang dan tak dikembalikan. Sayangnya pula saya lupa menoreh nama di buku itu. Ya, saya memang pelupa bukan peminjamnya, hehe.

Mengawali memanfaatkan sebuah buku baru saat mengotorinya dengan menulis nama, itulah cara mengatakan bahwa buku itu sudah ditambahkan ke perpustakaan saya, dan menjadi sarana yang akan saya gunakan pada saat saya perlukan.

Kedua, menandai dan menonjolkan (gunakan stabilo) yang dihargai. Ketika membaca sebuah buka tak jarang menemukan frasa-frasa, kalimat-kalimat, paragraf-paragraf dan halaman-halaman yang mengungkapkan suatu maksud dengan sangat baik. Bagian inilah yang saya maksudkan patut dihargai, sengaja ditandai karena tidak ingin saya lupakan.

Ketiga, mengarsipkan catatan-catatan pribadi. Saat berinteraksi dengan topik-topik pada pinggiran halaman buku, saya membuat catatan-catatan pribadi tentang topik bersangkutan dalam bentuk refleksi-refleksi yang terekam misalnya.

Hal tersebut bisa saja dilakukan pada catatan harian atau jurnal, namun rasanya tak akan setepat menulisnya pada pinggiran halaman buku itu. Di pinggiran halaman buku dimana topik tersebut dibahas, pikiran-pikiran saya langsung berinteraksi dengan sumber aslinya, itu alasan yang menguatkan pilihan tersebut.

Pencinta Buku Yang Dicintai (Sumber: Dokpri)
Pencinta Buku Yang Dicintai (Sumber: Dokpri)

Keempat, mencatat ide-ide topik untuk penulisan yang tak jarang muncul pada saat membaca sebuah buku. Ada pendapat klasik bahwa dengan banyak membaca kita dibawah menemukan luas ide, topik, atau bahan bakar sebagai energi untuk menulis.

Sepakat dengan hal itu, maka setiap kali membaca buku, saat pikiran berinteraksi dan menemukan semacam ide atau topik penulisan, cepat-cepat saya dokumentasikan pada pinggiran halaman buku tersebut. Kadang saat membuka ulang lembar halaman buku tersebut disuatu waktu, saya ingat pernah punya ide atau topik penulisan di pinggir halaman buku itu, namun belum sempat direalisasikan. Itulah saya ... si pelupa, haha.

Kelima, mengungkapkan perasaan. Seorang pembaca yang sehat biasanya akan merasakan emosi-emosi ketika membaca sebuah buku. Emosi tersebut bisa dalam bentuk sukacita, prihatin atau bahkan marah. Deretan respons emosi dalam bentuk demikian biasanya menjadi tanda bahwa pembaca terlibat intim dalam bacaannya. Dan bagian pinggiran halaman buku yang kosong berwarna putih itu, tak jarang menjadi sasaran pelampiasan kemarahan atau bahkan lahan lantunan sanjung pujian.

Sebuah buku di rak buku saya berjudul "Sifat Allah", ditulis oleh seorang penulis Kristen yang saya kagumi, R.C Sproul adalah contoh buku yang di beberapa bagian pinggir halaman bukunya penuh dokumentasi perasaan kagum dan sukacita pada Pribadi yang dibahas Sproul dalam bukunya itu. Bisa dibilang itu buku pertama selain Alkitab dalam sejarah hidup yang berhasil buat saya nangis mewek ... ah, jadi malu, haha.

Keenam, mengakui nilai sebuah buku yang sementara. Alasan ini bersifat rohani dan saya sepakat dengan Toni Reinke dia menyatakan: "Sebesar apa pun kita mencintai buku dan literatur, buku-buku di perpustakaan kita tidak bersifat kekal." Karenanya buku-buku bukanlah benda museum yang rapuh yang harus diarsipkan di kaca pajangan; buku-buku kita adalah alat-alat perkakas yang akan rusak karena sering dipakai untuk menolong membentuk kembali otak kita.

Memiliki pemahaman ini setidaknya penting menyadarkan kita semaksimal mungkin menarik manfaat sebesar-besarnya dari buku yang dimiliki, sambil mawas tak jatuh bersikap mencintai secara berlebihan yang salah.

Demikian mengapa saya memilih mencintai buku dengan cara mengotorinya, membuat catatan pada pinggir halamannya. Mari terus hidup sehat dengan membaca buku, jangan lupa sambil mengotorinya!

Selamat ulang tahun untuk setiap buku di tanggal 17 Mei kemarin! Salam literasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun