Beberapa alasan mengapa saya memilih mencintai buku dengan cara demikian. Secara jujur saya terinspirasi menemukan alasan-alasan itu  dari apa yang dikemukakan oleh Tony Reinke dalam bukunya, "LIT! Panduan Membaca Buku Bagi Orang Kristen."
Pertama, mengklaim buku. Saya mengotori buku untuk mengklaim bahwa buku itu milik saya. Setiap kali membeli buku baru istri saya selalu sibuk mengingatkan untuk menulis nama di buku tersebut, maklum saya sering lupa, dan pernah kejadian buku dipinjam orang dan tak dikembalikan. Sayangnya pula saya lupa menoreh nama di buku itu. Ya, saya memang pelupa bukan peminjamnya, hehe.
Mengawali memanfaatkan sebuah buku baru saat mengotorinya dengan menulis nama, itulah cara mengatakan bahwa buku itu sudah ditambahkan ke perpustakaan saya, dan menjadi sarana yang akan saya gunakan pada saat saya perlukan.
Kedua, menandai dan menonjolkan (gunakan stabilo) yang dihargai. Ketika membaca sebuah buka tak jarang menemukan frasa-frasa, kalimat-kalimat, paragraf-paragraf dan halaman-halaman yang mengungkapkan suatu maksud dengan sangat baik. Bagian inilah yang saya maksudkan patut dihargai, sengaja ditandai karena tidak ingin saya lupakan.
Ketiga, mengarsipkan catatan-catatan pribadi. Saat berinteraksi dengan topik-topik pada pinggiran halaman buku, saya membuat catatan-catatan pribadi tentang topik bersangkutan dalam bentuk refleksi-refleksi yang terekam misalnya.
Hal tersebut bisa saja dilakukan pada catatan harian atau jurnal, namun rasanya tak akan setepat menulisnya pada pinggiran halaman buku itu. Di pinggiran halaman buku dimana topik tersebut dibahas, pikiran-pikiran saya langsung berinteraksi dengan sumber aslinya, itu alasan yang menguatkan pilihan tersebut.
Keempat, mencatat ide-ide topik untuk penulisan yang tak jarang muncul pada saat membaca sebuah buku. Ada pendapat klasik bahwa dengan banyak membaca kita dibawah menemukan luas ide, topik, atau bahan bakar sebagai energi untuk menulis.
Sepakat dengan hal itu, maka setiap kali membaca buku, saat pikiran berinteraksi dan menemukan semacam ide atau topik penulisan, cepat-cepat saya dokumentasikan pada pinggiran halaman buku tersebut. Kadang saat membuka ulang lembar halaman buku tersebut disuatu waktu, saya ingat pernah punya ide atau topik penulisan di pinggir halaman buku itu, namun belum sempat direalisasikan. Itulah saya ... si pelupa, haha.
Kelima, mengungkapkan perasaan. Seorang pembaca yang sehat biasanya akan merasakan emosi-emosi ketika membaca sebuah buku. Emosi tersebut bisa dalam bentuk sukacita, prihatin atau bahkan marah. Deretan respons emosi dalam bentuk demikian biasanya menjadi tanda bahwa pembaca terlibat intim dalam bacaannya. Dan bagian pinggiran halaman buku yang kosong berwarna putih itu, tak jarang menjadi sasaran pelampiasan kemarahan atau bahkan lahan lantunan sanjung pujian.
Sebuah buku di rak buku saya berjudul "Sifat Allah", ditulis oleh seorang penulis Kristen yang saya kagumi, R.C Sproul adalah contoh buku yang di beberapa bagian pinggir halaman bukunya penuh dokumentasi perasaan kagum dan sukacita pada Pribadi yang dibahas Sproul dalam bukunya itu. Bisa dibilang itu buku pertama selain Alkitab dalam sejarah hidup yang berhasil buat saya nangis mewek ... ah, jadi malu, haha.
Keenam, mengakui nilai sebuah buku yang sementara. Alasan ini bersifat rohani dan saya sepakat dengan Toni Reinke dia menyatakan: "Sebesar apa pun kita mencintai buku dan literatur, buku-buku di perpustakaan kita tidak bersifat kekal." Karenanya buku-buku bukanlah benda museum yang rapuh yang harus diarsipkan di kaca pajangan; buku-buku kita adalah alat-alat perkakas yang akan rusak karena sering dipakai untuk menolong membentuk kembali otak kita.