"Anak tentu adalah milik kedua orang tuanya, ayah dan ibu ... ia harus mendapatkan kasih sayang utuh sebab anak membutuhkan figur kedua orang tuanya!"
Â
Anda mungkin pernah mendengar pernyataan "Anak Papa!" atau Anak Mama!" dengan bangga penuh cinta disuarakan oleh seorang ayah dan ibu pada anaknya.
Tentu wajar bila seorang ibu yang mengapresiasi kebaikan yang baru saja dilakukan anaknya dengan, "Ini baru anak mama!" Atau respons bangga seorang ayah atas sikap berani anaknya dengan mengatakan, "Luar biasa, ini baru anak papa!".
Respons sukacita dan bangga demikian justru adalah bentuk kasih sayang yang dibutuhkan anak dari kedua orang tuanya, bahkan penting bagi perkembangan pertumbuhan emosi anak.
Namun apresiasi khas itu kemudian bisa menjadi tak wajar ketika jadi semacam bentuk persaingan antara ayah dan bunda, bahkan tak jarang dipakai untuk saling menyudutkan atau menjelekkan antara keduanya.
Baru-baru ini istri saya menceritakan kekesalan seorang tetangga, seorang ibu, yang diceritakan padanya. Karena konfliknya dengan sang suami, ibu itu berulang kali dijelekkan dengan menggunakan apresiasi khas tadi.
Misalnya, jika anaknya menunjukkan keberhasilan dalam studi atau kecakapannya dalam hal tertentu, maka suaminya akan mengapresiasi prestasi sang anak dengan menyatakan: "Ini anak papa!" Â
Sebaliknya, saat si anak mengalami kegagalan dalam studi atau berkelakuan negatif di sekolah atau rumah, maka hal itu akan dijadikan sang suami sebagai bentuk ejekkan pada istrinya dengan mengatakan: "Nah, kalau ini anak mama!".
Umumnya hal semacam itu kerap dilakukan pasangan orang tua hanya sebagai sebuah candaan. Namun karena hal demikian intens dilakukan suaminya, maka apresiasi semacam itu tak hanya membuatnya kesal, juga menyakitkan hatinya.
Tak bermaksud lanjut membahas konflik si ibu dalam kisahan tadi dengan suaminya, itu bukan tujuan artikel ini. Artikel ini bermaksud membicarakan secara singkat bagaimana peran figur kedua orang tua yang dibutuhkan seorang anak. Semogah menjawab pertanyaan pada judul artikel ini!
Anak tentu adalah milik kedua orang tuanya, ayah dan ibu. Karena itu secara mendasar ia harus mendapatkan kasih sayang utuh sebab anak membutuhkan figur kedua orang tuanya. Tidak cukup dari ibu saja atau dari ayah saja. Dengan kata lain anak membutuhkan figur ayah karena karena ada sesuatu yang tak didapat dari ibunya, demikian pula sebaliknya.
Peran Ayah.
Melalui peran seorang ayah, anak belajar tentang keberanian, diskusi, pemecahan masalah, logika pengambilan keputusan, kemadirian, ketegasan, serta harga diri sebagai laki-laki. Semua itu dapat dilakukan pada saat anak bermain, bercanda, ataupun secara sengaja bertukar pikiran dengan ayah.
Pada prinsipnya, ketika terjadi kontak mata, sentuhan, belaian, ataupun candaan dengan seorang ayah, akan berarti bagi perkembangan anak. Bisa jadi, ayah yang terlibat dalam pengasuhan anak akan membuat kecerdasan anak menjadi lebih tinggi karena logika dan pemecahan masalah yang diajarkan seorang ayah.
Bila terjalin hubungan yang baik secara emosi antara seorang anak dengan ayahnya, menurut Handayani dalam bukunya How to Raise Great Family (2023), akan menciptakan perasaan pada anak bahwa dirinya dicintai, dihargai, dan dipedulikan. Kondisi ini akan memunculkan rasa aman secara emosional, yang selanjutnya perasaan aman ini akan membantu anak memiliki percaya diri ketika berinteraksi dengan lingkungan. Sebaliknya bila tak terbentuk hubungan ini berakibat anak kurang mandiri, takut menjalin hubungan dengan orang lain, serta menjadi pribadi yang rapuh.
Dalam konteks khusus bagi anak laki-laki, peran seorang ayah membantu anak menemukan jati dirinya. Ayah adalah model bagi anak laki-laki sehingga apapun yang dilakukan oleh seorang ayah akan ditiru oleh anak laki-lakinya.
Dengan demikian ketiadaan figur dan peran seorang ayah akan berdampak negatif bagi seorang anak.
Peran Ibu.
Sebagaimana seorang ayah, demikian peran seorang ibu begitu penting dalam pengasuhan seorang anak. Sebegitu penting maka ia sering digambarkan sebagai sekolah pertama untuk anak.
Sejak dalam kandungan misalnya, anak sudah merasakan kasih saying dan pendidikan dari seorang ibu. Karena sejak dalam kandungan, baik secara fisik maupun emosi kedekatan antara ibu dan dan anak telah terjalin secara alamiah. Tanpa disadari setiap perbuatan ibu, baik ataupun buruk, terekam oleh anak secara alami walau masih dalam kandungan. Hal ini kemudian akan berdampak bagi anak setelah lahirnya.
Menurut Handayani dalam bukunya How to Raise Great Family (2023), dibalik sosok ibu yang lembut, ramah, mengasuh dan merawat, darinya anak belajar tentang kemampuan berbahasa, sikap menolong, mengalah dan mengasuh. Karenanya lebih lanjut dikatakan Handayani, ketika anak  hanya berinteraksi dengan salah satu figure saja maka akan ada ketimpangan yang terjadi.
Dalam konteks yang lebih luas, dalam keluarga, menurt Gunarsa dan Gunarsa dalam bukunya Psikologi Praktis: Anak, Remaja dan Keluarga (2000), peran ibu adalah memenuhi kebutuhan fisiologis dan psikis, merawat dan mengurus keluarga. Ibu sebagai pendidik yang mampu mengatur dan mengendalikan anak sebagai contoh dan teladan, manajer yang bijaksana, serta memberi rangsangan dan pelajaran.
Berperan baik ibu melakukan perannya, menurut Gunarsa dan Gunarsa, akan lahir generasi yang unggul dan berkualitas.
Demikian secara singkat dapat dikemukakan bagaimana peran figur kedua orang tua yang dibutuhkan seorang anak. Keduanya sama-sama memiliki porsi peran penting dalam membentuk seorang anak.
Kembali pada pertanyaan judul artikel ini. "Anak mama atau papa?" Silahkan Anda para orang tua bebas mengungkapkannya. Apa saja tak salah, sambil menyesuaikan dengan rasa cinta Anda pada sang anak, si buah hati.
Akan menjadi salah apabila Anda melakukannya sambil menafikan peran yang lain, entah suami atau istri Anda. Apalagi dengan maksud jelek sebagaimana dialami dan dikisahkan si ibu di awal artikel ini. Semogah berkenan![]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H