Hal itu seakan memperkuat penilaian umum yang keliru bahwa bagaimana mungkin jiwa yang jahat dan mengerikan bisa meneruskan hal-hal indah semacam apa yang dikaryakan melalui seni?
Bagaimana mungkin dari mulut yang biasa memerintahkan hal jahat, brutal, sadis, dan mematikan hidup seseorang, bisa terdengar nyanyian bertujuan menghibur dan bahkan bisa menenangkan jiwa?
Namun sejarah hidup Nero mengkisahkan, itu semua mungkin! Dan kita serta siapapun yang hendak memimpin harus berhati-hati sebab kita berpotensi untuk jatuh pada lubang yang sama.
Seorang tokoh agama bernama Yakobus yang hidup semasa dengan Nero, tahun 45-49 telah menulis sebuah pernyataan, seakan mengantisipasi dan mengingatkan hal tersebut.
Ia menulis: "dari mulut yang satu keluar berkat dan kutuk. Hal ini, saudara-saudara, tidak boleh demikian terjadi." (Yakobus 3: 10)
Yakobus bahkan menilai, apa yang menjadi sumber masalahnya bukan pada mulut, tapi pada apa yang dia simbolkan sebagai "sumber ... mata air yang sama" (3:11).
Tak diidentifikasikan Yakobus makna simbol itu apa. Namun bisa diperkirakan itu adalah soal hati, sebab biasanya apa yang keluar dari mulut berhubungan erat dengan hati.
Hal tadi sebobot denga apa yang dikemukakan Abdulah Gymnastiar (AA Gym) lewat lagu kondangnya; "Jagalah hati jangan kau nodai, jagalah hati, lentera Ilahi!".
Melalui sejarah hidup Nero ini kita bercermin. Keberadaan hati seseorang termasuk orang yang hendak berada dalam posisi memimpin perlu selalu dijaga.
Perlu upaya pembersihan hati bermuatan sampah berbau busuk keinginan jahat nan berdosa. Lentera Ilahi itu tak dapat dibersihkan hanya dengan kemampuan diri manusia yang serba tak cukup dan utuh. Ia perlu bergantung pada kasih sang Ilahi Tuhan demi menolong menjaganya bersih.
Riwayat Nero ini memunculkan pesan: "Berhati-hatilah dengan hati!" Sebab dengan mulut kita melafas puji pada sang Khalik, tetapi dengan mulut yang sama, "kita mengutuk manusia sesama ciptaan-Nya." Dan itu semua dimulai dari hati hitam bermasalah dosa.