Hari sabtu (18'11'2023) libur kerjaan. Libur ini saya gunakan mengunjungi sebuah outlet buku di kota Bandung. Cuaca mendung, hampir turun hujan ketika langkah kaki memasuki outlet buku itu.
Tak berselang lama didalamnya, pandangan saya terhenti pada sebuah buku terpajang di sebuah rak, "Lautan Rempah - Peninggalan Portugis di Nusantara." karya Joaquim Magalhaes de Castro, seorang penulis, peneliti, dan jurnalis berkebangsaan Portugis. Buku ini pernah saya baca dua tahun silam.
Apa ini sebuah kebetulan? Entahlah. Yang jelas buku itu berhasil menarik saya merenung dua pengalaman terkait cerita pertama kali bertemu dan membacanya dua tahun lalu.
Hujan mulai turun ketika pikiran saya diajak merenung kembali dua pengalaman itu.
Pengalaman pertama, terjadi hari Rabu, 19 Mei 2021. Hari itu saya bertamu ke rumah seorang teman, sesama orang Maluku. Ia seorang polisi bertugas di Bandung.
Pertemuan kala itu saya anggap tak kebetulan. Ngobrol menggunakan dialek Ambon, ditemani segelas teh manis dan makanan ringan khas Maluku. Rasanya tak kebetulan. Seperti sedang berada di Ambon. Sebuah momen pulang kampung walau tak secara fisik, melainkan melalui suasana.
Menarik, sebelum berpisah kami saling menyapa dengan menggunakan salam perpisahan khas daerah asal kami, yaitu Amato.
Amato adalah sebuah sapaan, memiliki dua pengertian yang berbeda tergantung penggunaannya saat berpisah dengan seseorang. Pertama, berarti selamat tinggal, digunakan oleh orang yang akan pergi. Kedua, berarti selamat jalan, digunakan orang yang tinggal sebagai sapaan balasan.
Pengalaman kedua, tiga hari berselang, Sabtu, 22 Mei 2021. Bukan kebetulan hari itu saya berkenalan dengan Joaquim Magalhaes de Castro lewat bukunya, Lautan Rempah - Peninggalan Portugis di Nusantara. Moment pertama kali membaca buku itu.
Dalam buku itu, Joaqium memotret hasil koeksistensi (hidup berdampingan) selama 150 tahun antara orang Portugis dan Indonesia. Bahasa, musik, tarian, busana, legenda (cerita rakyat), arsitektur, agama, adalah sebagian warisan yang ditinggalkan bangsa Portugis yang masih bisa ditemui saat ini dibeberapa pulau di Nusantara, termasuk di Maluku.
Berbentuk sebuah buku diary perjalanan dengan sentuhan gaya jurnalistik sejarah. Saat itu, ketika membaca bukunya, Joaquim seperti mengajak saya jalan-jalan mengunjungi beberapa desa di pulau Ambon hari itu melalui bukunya.
Dalam imajinasi saya saat membaca kala itu, suatu ketika kami hendak meninggalkan sebuah desa bernama Hatalai, ada yang menyapa kami: "Amato!" (selamat jalan). Lalu kami balas: "Amato!" (selamat tinggal). Joaquim lalu berkata, "Kamu tahu, kata Amato itu berasal dari bahasa Portugis, amo-te, yang artinya saya cinta padamu. Entah kenapa hari ini, di sini, artinya berubah menjadi 'selamat jalan' dan 'selamat tinggal'."(hlm. 149 dari buku Joaquim)
Hujan di luar outlet buku itu belum juga berhenti namun perenungan saya terhenti. Berakhir dengan dua pengalaman itu terhubung melalui kata Amato. Itu saya maknai bukan sebuah kebetulan
Memang semua yang terjadi dalam hidup ini tak ada yang kebetulan. Sebagai orang yang beriman dan bertaqwa pada Tuhan, saya meyakini bahwa tidak ada yang kebetulan dalam hidup ini, sebab Tuhan telah mengatur dan menentukan seluruh hidup kita.
Maka apa saja pengalam terjadi dalam hidup kita, baik buruk, suka duka, sebagai orang yang ber-Tuhan tak ada yang kebetulan. Semua sudah diatur-Nya!
Masih tak percaya? Pikirkan ini! Andai saja arti kata Amato tak berubah dari arti awalnya, "aku cinta padamu", maka salam perpisahan saya dan teman polisi di awal menjadi hal aneh.
Ah, benar! Itu Amato yang tak kebetulan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H