Mohon tunggu...
Oktaviano Donald
Oktaviano Donald Mohon Tunggu... lainnya -

Masih mengagumi negeri Indonesia,para bapa bangsa, dan orang tua yang membesarkan saya; namun sedikit ragu dengan dengung perubahan dari mulut para opurtunis di Nusantara.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Filsafat sebagai Ilmu Kritis

29 Juli 2012   20:01 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:28 8553
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Filsafat, sebagai metode pemikiran yang bertanya tentang sifat dasar dan hakiki dari realitas, merupakan suatu ‘seni kritik’. Filsafat pada dirinya sendiri mempertanyakan segala sesuatu secara terus menerus. Ia selalu mengusik apa yang ‘mapan’, mempertanyakan segala sesuatu yang kelihatannya sudah jelas. Ia menggali segala sesuatu secara fundamental, untuk menemukan pusat permasalahan yang harus dipecahkannya secara rasional dan bertanggung jawab.

Filsafat adalah ilmu yang menyelidiki hal-hal mendasar dan menyeluruh. Berbeda dengan cabang ilmu lainnya, filsafat mengkaji segala sesuatu secara menyeluruh. Ia terus-menerus mempertanyakan dan berupaya menjawab berbagai macam permasalahan yang tak dapat dijawab oleh cabang ilmu lainnya—dan juga pertanyaan lintas ilmu—secara rasional dan bertanggung jawab. Oleh karena itu, filsafat tidak dapat tidak bersifat kritis. Kritis di sini dalam artian terus menerus bertanya—secara eksternal mempertanyakan hal-hal di luar dirinya (lingkup ilmu khusus) dan juga secara internal mempertanyakan diri sendiri, sehingga tidak berhenti pada sebuah klaim kebenaran—tentang hal-hal fundamental dan mencari jawaban secara rasional dan bertanggung jawab.

Menurut Franz Magnis Suseno, sifat kritis merupakan merupakan tuntutan internal dari berpikir filosofis itu sendiri. Filsuf harus selalu kritis, bertanya dan mencari jawaban-jawaban rasional. Berfilsafat dengan demikian merupakan berpikir kritis; selalu harus bertanya secara fundamental dan mencari jawaban rasional. Di sinilah terletak tanggung jawab filsafat, yakni dimana Filsafat secara kritis terus menerus mempertanyakan dan juga harus berani menawarkan jawaban-jawaban rasionalnya bagi permasalahan-permasalahan manusia. Filsuf bertanggung jawab dalam mempertanyakan apa yang nampaknya sudah jelas dan juga berani mengajukan jawaban-jawaban rasionalnya, serta terbuka pada kritik dan pertanyaan. “Filsafat berusaha memberikan jawaban yang bisa dipertanggungjawabkan secara rasional.”Dalam hal ini, filsafat juga terbuka terhadap segala kritik yang menyangkal jawabannya dan berani mengajukan argumentasi rasional secara objektif, sehingga jawaban yang diberikan bisa dimengerti secara intersubjektif.

Dengan demikian, filsafat memang sebuah ilmu kritik, seni kritik. Secara eksternal, ia terus-menerus mengajak ilmu-ilmu lain untuk beranjak dari kemapanan dengan mempertanyakan klaim-klaim merek;, dan secara internal, ia tidak ‘ajek ‘dalam suatu klaim kebenaran dengan selalu mempertanyakan dirinya sendiri.

Dialektika sebagai suatu metode berfilsafat

Filsafat, yang tidak dapat tidak harus ‘kritis’, pada hakikatnya dialektis. Dalam filsafat, klaim kebenaran pasti selalu tunduk pada proposisi-proposisi yang lebih besar, dan proses ini berlangsung terus menerus dalam putaran ‘tesis - anti-tesis’. Filsafat sebagai dialektika selalu berada dalam hubungan dialogal (dua arah). Klaim kebenaran selalu dipertanyakan dan diusik kemapanannya oleh klaim rasional lainnya. Dengan demikian berpikir kritis—sebagai tuntutan internal dalam filsafat—ialah berpikir dialektis.

Dialektika, sebagai sebuah metode untuk berfilsafat, merupakan metode paling khas dalam filsafat. Dialektika merupakan sebuah ‘wadah’ bagi klaim-klaim rasional dari para filsuf dalam upaya memurnikan ide sebagai pengetahuan. Di dalamnya, klaim-klaim para filsuf saling menguji dan menyangkal, serta menyimpulkan suatu klaim baru yang tidak mungkin tidak akan dimurnikan lagi dalam proses yang sama. Proses itu teru berputar di kisara tesis dan anti-tesis. Dengan demikian, dialektika merupakan metode yang memungkinkan sifat kritis sebagaimana tuntutan berpikir filosofis. Oleh karena itu, dialektika merupakan metode khas dalam filafat.

Dalam sejarah filsafat, dialektika nampak menjadi metode khas dalam berfilsafat. Bagi Platon, dialektika berarti suatu dialog yang mana di dalamnya ide dimurnikan dari yang sekadar inderawi dan partikular ke ide yang murni. Dialektika berasal dari kata “dia-legein (lekton-lekta)”, yang artinya melalui kata-kata, melalui perbincangan, dialog. Dalam karya-karyanya yang berbentuk dialog, Platon akan mengajak orang (mitra wicara) berproses tahap demi tahap untuk akhirnya sampai ke ‘definisi’tentang tema dialog. Dalam proses dialog ini akan diajukan tesis-tesis, penyangkalan-penyangkalan yang diajukan kepada tesis tersebut, dan semacam ‘kesimpulan’ yang bisa ditarik sendiri dari keseluruhan proses dialog yang kadang-kadang bersifat “aporetik” (jalan buntu).

Disamping itu, raksasa paling akbar dari idealism Jerman, Hegel juga menyajikan dialektikanya. Bagi Hegel, dialektika merupakan ‘gerak pemikiran itu sendiri yang selalu bernegasi’. Pemahaman atas dialektika Hegel harus bertitik tolak dari keyakinan Hegel bahwa “Only the Whole is True”. Untuk sampai ke “the Whole” itu tentu ada tahapan, ada momen yang “partially true”. Namun hanya dalam “the Whole” itulah ‘tiap tahapan’ akan ‘diambil kebenarannya’ dan ‘dilampaui kesalahannya’. “The Whole” sebagai yang benar tampak dalam ‘pengambilan/pelestarian’ dan ‘pelampauan’ dari momen-momen yang dilewatinya. Kebenaran, menurut dialektika Hegel, dengan demikian tampak sebagai ‘gerakan dinamis’. Hanya dalam totalitas (keseluruhan) maka pengatahuan yang sebenarnya terpahami.

Dialektika adalah metode berfilsafat itu sendiri.

Sebagaimana berpikir kritis merupakan berpikir dialektis, Berfilsafat dengan demikian harus dialektis. Berfilsafat mengandaikan suatu cara berpikir yang kritis, dan oleh karena itu bersifat dialektis. Filsafat mengajukan pertanyaan dan mencari jawabannya dengan metode kritisnya, dalam dialektika.

Berpikir dialektis tidak lain merupakan berpikir historis. Berpikir dialektis mengandaikan adanya beberapa pemikiran yang sudah ada sebelumnya. Dalam hal ini, filsafat jelas tidak berangkat dai ‘nol’. Pemikiran-pemikiran itu kemudian dikaji, dikritisi; dilengkapi dan dilampaui. Dalam hal ini, perbandingan pemikiran meliputi dimensi historis. Jadi, dialektika selalu merupakan model berpikir historis. Metode dialektis berkaitan erat dengan metode historis.

Bagi Aristoteles, Filsafat haruslah dialektis. Pendahulu haruslah dilampaui dan dilengkapi. Dalam karya-karyanya, Aristoteles selalu mengungkapkan apa yang telah ada sebelumnya, karena baginya hal-hal itu merupakan pencapaian yang berguna bagi pembentukan atau pengolahan pemikirannya sendiri. Ia mengutip otoritas-otoritas pendahulunya untuk ia kritik sesuai optik yang ia miliki. Ide-ide besar yang diikuti jamannya perlu dikatakan, dipresentasikan, tetapi bukan hanya untuk direpetisi. Di sini ia meletakkan, ‘perpektif kontinuitas berpikir’ dimana ia tidak sekedar mengulang apa yang sudah ada, tetapi ia menawarkan perspektif baru pemikirannya dalam kontinuitas dengan pendahulu-pendahulunya.

Louis Leahy juga melihat bahwa filsafat harus bersifat kritis, dalam arti berpikir historis. Filsafat tidak mungkin tidak berangkat dari pengetahuan yang sudah ada terdahulu. Oleh karena itu, filsafat harus bersifat kritis dalam kajian historisnya; melanjutkan dan terus bertanya serta menemukan jawabannya, atau dengan kata lain Filsafat bersifat interrogatif (anti kemapanan).

Berfilsafat dalam Perbedaan ‘Barat-Timur’.

Sebagaimana telah diungkapkan di atas, berfilsafat dengan metode dialektisnya tidak dapat tidak harus bersifat kritis. Sifat kritis dalam metode dialektika merupakan tuntutan internal dalam berfilsat. Dan tanpanya, filsafat bukan lagi merupakan upaya pencarian fundamental yang berlandaskan ‘cinta akan kebijaksanaan’.

Dari kenyataan yang terungkap di atas, nampaknya muncul suatu tantangan berat bagi proses belajar Filsafat dalam kaitannya dengan perbedaan metode pendekatan antara ‘barat dengan timur’. Perbedaan metode pendekatan yang melekat dalam ‘manusia barat-timur’ menghadirkan suatu tantangan baru, khusunya bagi orang-orang dari wilayah dengan label timur yang kecendrungannya cukup sulit beradaptasi dengan ‘sikap kritis’.

Perbedaan ‘barat-timur’ pada dasarnya tidak terletak pada “isi-nya”—sebagaimana sering diungkapkan bahwa perbedaan itu nampak dalam distingsi rasio-intuisi—tetapi pada “metodenya”. Perbedaan yang lebih relevan itu kiranya nampak dalam metode pendekatan yang argumentatif yang dominan di barat dan metode mendekatan yang lebih otoritatif di dunia timur. Di barat, metode argumentatif lebih memungkinkan untuk berfilsafat dengan ‘kultur kritisnya’ dibandingkan dengan kekakuan yang hadi dalam metode otoritatif yang melekat erat di timur. Di timur, otoritas diagungkan sebagai pemegang legitimasi yang tak dapat diganggu gugat. Otoritas diandaikan ‘sangat benar’ dan tak ada kemungkinan lain darinya. Kepatuhan naïf ini kiranya merupakan suatu hambatan terberat dalam wilayah timur ketika berhadapan dengan metode berfilsafat.

Akan tetapi dalam konteks permasalahan ini, ‘orang timur’, di satu sisi kurang diuntungkan dalam berfilsafat, namun di sisi lain juga terbuka terhadap kemungkinan perkembangan baru. Di satu sisi, ‘Dialektika-kritis filsafat’ pada umumnya berbenturan dengan kecenderungan ‘otoritatif’, keajekan dalam bersikap ‘nrimo. Kiranya cukup sulit meninggalkan ‘keajekan’ dealam suatu perubahan perspektif, akan tetapi akan selalu ada jalan untuk beradaptasi. Di sisi lain, nampak peran nyata dari “Filsafat sebagai Ilmu Kritis”. Filsafat sebagai ilmu kritis pada akhirnya akan memampukan setiap manusia untuk bersikap kritis. Dengan filsaat, orang-timur tidak lagi terbatasi oleh kecenderunganya yang ‘terkungkung dalam bejana otoritatif’, tapi dapat mengembangkan masyarakatnya dengan sikap kritis.

Tulisan ini disarikan dari esai Franz Magnis-Suseno, Filsafat sebagai Ilmu Kritis, dalam buku “Filsafat sebagai Ilmu Kritis”, Yogyakarta: kanisius, 1992, hlm.10.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun