Mohon tunggu...
Donal Moraka
Donal Moraka Mohon Tunggu... Penulis - "Menulislah Agar Kamu Diceritakan Sejarah"

Penulis kemanusiaan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pandangan Akademisi: Kata 'RADIKAL' Itu Baik

1 November 2019   21:19 Diperbarui: 1 November 2019   21:51 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nampaknya terjadi pergeseran makna untuk kata radikal. Dahulu di era perjuangan kemerdekaan, kata radikal diartikan sangat baik, kelompok yang progresif revolusioner dari organisasi sayap kiri di Indonesia selalu dielu-elukan dengan kata radikal. Lalu apa sebenarnya arti kata radikal itu sendiri?
Secara etimologi, radikal berasal dari kata latin, radix/radici, yang berarti "akar". Dalam politik, istilah "radikal" mengacu pada individu, gerakan atau partai yang memperjuangkan perubahan sosial atau sistim politik secara mendasar atau keseluruhan.

Istilah "radikal" sangat terhormat dalam sejarah Indonesia. Orang Belanda yang menjadi pengeritik pedas kolonialisme Belanda, seperti Eduard Douwes Dekker (Multatuli) dan Ernest Douwes Dekker, sering disebut "radikal".

Cap radikal juga melekat pada tokoh-tokoh di barisan kiri (komunis), seperti Mas Marco Kartodikromo, Semaun, Haji Misbach, Tan Malaka, Darsono, Ali Archam, Musso, Alimin dan lain-lain.

Jadi, seperti dikatakan Soe Hok Gie dalam Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan, "kaum radikal itu berasal dari segala golongan."Bisa kaum nasionalis, agamis, apalagi komunis.

Sukarno, tokoh terkemuka pergerakan nasional, malah menganjurkan radikalisme. Baca: risalahnya di tahun 1933, Mencapai Indonesia Merdeka, dia menjelaskan pengertian radikal dengan sangat tepat.

"Radikalisme, -- terambil dari perkataan radix, yang artinya a k a r -, radikalisme haruslah azas machtsvorming Marhaen: berjuang tidak setengah-setengahan tawar-menawar tetapi terjun sampai ke akar-akarnya kesengitan antitese, tidak setengah-setengahan hanya mencari "untung ini hari" saja tapi mau menjebol stelsel kapitalisme-imperialisme sampai ke akar-akarnya, tidak setengah-setengahan mau mengadakan perubahan-perubahan yang kecil-kecil saja tapi mau mendirikan masyarakat baru sama sekali di atas akar-akar yang baru, -- berjuang habis-habisan tenaga membongkar pergaulan hidup sekarang ini sampai keakar-akarnya untuk mendirikan pergaulan hidup baru di atas akar-akar yang baru," tulis Sukarno.

Bagi Sukarno, perjuangan kaum marhaen haruslah bernyawakan radikalisme, berazaskan radikalisme, agar tidak tergelincir pada reformisme dan kompromi yang merugikan masa depan perjuangan kaum marhaen. Disamping bersenjatakan machtvorming dan massa-aksi.

Karena itu, Sukarno menganjurkan partainya, Partai Nasional Indonesia (PNI), menjadi partai radikal.

Maka partai sendiri lebih dulu harus partai yang bewust, partai yang sedar, partai yang radikal. Hanya partai yang bewust dan sedar dan radikal bisa membikin massa menjadi bewust dan sedar dan radikal. Hanya partai yang demikian itu bisa menjadi pelopor yang sejati di dalam pergerakan massa, dan membawa massa itu dengan selekas-lekasnya kepada kemenangan dan keunggulan," tulisnya.

Jadi, agak aneh jika ada partai yang mengaku pewaris ajaran Sukarno ikut-ikut mengutuki radikalisme. Partai itu bukan hanya buta sejarah, tetapi kurang membaca tulisan-tulisan Sukarno. Atau jangan-jangan lembar-lembar tulisan Sukarno sudah jadi pembungkus kacang?

Tidak bisa dipungkiri, Indonesia merdeka sebagian besar karena pengorbanan kaum radikal. Mereka yang dibunuh, dibuih, dan dibuang.

Era reformasi sekarang pun banyak masyarakat bahkan mahasiswa dan Dosen-Dosen sebagian pun keliruh memaknai kata radikal, sehingga ada gerakan-gerakan rakyat memprotes kebijakan Pemerintah dan aksi-aksi dan pergerakan mahasiswa yang membelah hak-hak masyarakat Proletariat di anggap melawan negara dan memecahkan kesatuan negara. Bahkan ada Dosen yang mengajarkan Marxisme dianggap pemberontak, bahkan dituding komunis era baru.

Ini yang perlu di luruskan sebab memaknai sebuah kata tanpa melandasi sejarah dan arti yang jelas maka akan terjadi kontradiksi dalam pemaknaan kata yang sesungguhnya.

Pun banyak membaca sejarah sehingga tidak terkesan asal-asalan.

Ini tangung jawab akademisi untuk membenarkan kata yang keliruh di konsumsi publik, sehingga generasi bangsa pun tidak termakan doktrin yang di tinggalkan oleh konsumsi publik yang salah.

Jadi jangan takut berpikir dan bertindak radikal!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun