Seperti biasa aku membaca koran pagi langgananku, "Kompas" Senin, 6 September 2010, membuka-buka dulu lembar demi lembar halaman koran, demikian juga ketika sampai di halaman opini. Halaman ini selalu menarik karena sejujurnya aku menikmati suasana nyata dan terkini problematika negeri Indonesia dalam setiap ulasan yang dituangkan penulis-penulisnya, menarik... Semula aku hanya melihat semua tulisan di halaman ini sepintas dan berpikir di dalam hati, "Aaahh... Nanti malam saja dilanjutkan ketika semua kesibukan hari ini selesai..." dan godaan melihat halaman lain, terutama halaman Olahraga, humm..... Ketika melihat judul tulisan "Pemimpin, Keberanian, dan Perubahan" pun pada awalnya aku hanya membaca sekilas saja, namun saat membaca kalimat pembukanya, kira-kira begini bunyinya, "Terdapat dua jenis pemimpin cerdas, yaitu pemimpin cerdas saja dan pemimpin cerdas yang bisa membawa perubahan. Untuk menciptakan perubahan (dalam arti positif), tidak diperlukan pemimpin sangat cerdas sebab kadang kala kecerdasan justru dapat menghambat keberanian. Keberanian jadi satu faktor penting dalam kepemimpinan berkarakter, termasuk keberanian mengambil keputusan dan menghadapi risiko. Kepemimpinan berkarakter risk taker bertentangan dengan ciri-ciri kepemimpinan populis. Pemimpin populis tidak berani mengambil risiko, bekerja menggunakan uang, kekuasaan, dan politik populis atau pencitraan lain." Begitu, kalimat pembuka di atas yang membawa imajinasi kita melayang ke satu hal, bukankah ini membahas pemimpin di negeri ini? Wah, boleh juga mengambil waktu di pagi hari menyempatkan membaca sampai habis... Tak disangka, artikel ini rupanya mendapat banyak tanggapan pembaca, ini bisa dilihat di kolom tanggapan kompas.com, bahkan di jagat maya, terlihat pada status updates teman-teman di facebook.com, juga menjadi salah satu trending topics pada minggu-minggu ini di situs twitter.com, demikian juga di situs forum kaskus.us. Woowww...... Mau tahu apa lagi yang mengagetkan dari artikel ini? Semula aku merespon artikel ini biasa-biasa saja, tetapi sambil membaca, aku berpikir di dalam hati siapa niy penulisnya, bolak-balik baca atas bawah tulisan, oohh....., Adjie Suradji, siapa dia? Adjie Suradji ternyata seorang perwira menengah di jajaran TNI AU. Berpangkat Kolonel Penerbang, Pamen Sopsau - staf operasional di Mabes TNI AU. Ayah dari Theo Natalie Barton dan istri Meity Rotinsulu ini pernah menjabat sebagai Komandan Lapangan Udara Syamsudin Noor di Banjarmasin pada 1997-1999. Jabatan yang diembannya waktu itu masih berpangkat Letnan Kolonel Penerbang. Tentu ini tak lazim berlaku di kalangan militer, tindakan ini masuk kategori insubordinasi dan di luar tradisi ketentaraan, mengingat tentara aktif terikat dengan kode etik TNI. Jadi hal ini aneh. Yang menjadi persoalan, mengapa Adjie sampai menulis hal ini. Tentu ada sesuatu yang menjadi kerisauannya. Jelas Adjie menyerang kebijakan pimpinannya, yang notabene Panglima Tertinggi TNI. Adjie jelas menggugat keberanian Presiden Yudhoyono melakukan perubahan di negeri ini. Ia tampak lelah melihat tipe kepemimpinan yang kurang teguh, tiadanya keberanian mengambil keputusan berisiko, dan terlihat secara mencolok menjalankan kepemimpinan populis dengan segala pencitraannya. Sebagai gambaran cobalah lihat contoh sebulan lalu yang dialami Presiden Obama saat dikiritik kebijakannya di ranah tempur Afghanistan, oleh Panglima Tertinggi Pasukan AS di Afghanistan, Jendral Stanley McChrystal yang bahkan sampai membocorkannya ke wartawan, presiden ini (ingat ini di masa jabatannya yang pertama - yang sebenarnya membutuhkan pencitraan baik) segera merespon ke'nakal'an jendralnya dan langsung ditarik ke Washington dan diganti dengan Jendral David Petraeus tanpa gonjang-ganjing berlama-lama dan bertindak tegas, sehingga fokus pemerintahan kembali pada rel semula.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H