Mohon tunggu...
Donald Sitompul
Donald Sitompul Mohon Tunggu... -

I'm cool.........

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ketika Sang Panglima Dikritik…

7 September 2010   19:47 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:22 733
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seperti biasa aku membaca koran pagi langgananku, "Kompas" Senin, 6 September 2010, membuka-buka dulu lembar demi lembar halaman koran, demikian juga ketika sampai di halaman opini. Halaman ini selalu menarik karena sejujurnya aku menikmati suasana nyata dan terkini problematika negeri Indonesia dalam setiap ulasan yang dituangkan penulis-penulisnya, menarik... Semula aku hanya melihat semua tulisan di halaman ini sepintas dan berpikir di dalam hati, "Aaahh... Nanti malam saja dilanjutkan ketika semua kesibukan hari ini selesai..." dan godaan melihat halaman lain, terutama halaman Olahraga, humm..... Ketika melihat judul tulisan "Pemimpin, Keberanian, dan Perubahan" pun pada awalnya aku hanya membaca sekilas saja, namun saat membaca kalimat pembukanya, kira-kira begini bunyinya, "Terdapat dua jenis pemimpin cerdas, yaitu pemimpin cerdas saja dan pemimpin cerdas yang bisa membawa perubahan. Untuk menciptakan perubahan (dalam arti positif), tidak diperlukan pemimpin sangat cerdas sebab kadang kala kecerdasan justru dapat menghambat keberanian. Keberanian jadi satu faktor penting dalam kepemimpinan berkarakter, termasuk keberanian mengambil keputusan dan menghadapi risiko. Kepemimpinan berkarakter risk taker bertentangan dengan ciri-ciri kepemimpinan populis. Pemimpin populis tidak berani mengambil risiko, bekerja menggunakan uang, kekuasaan, dan politik populis atau pencitraan lain." Begitu, kalimat pembuka di atas yang membawa imajinasi kita melayang ke satu hal, bukankah ini membahas pemimpin di negeri ini? Wah, boleh juga mengambil waktu di pagi hari menyempatkan membaca sampai habis... Tak disangka, artikel ini rupanya mendapat banyak tanggapan pembaca, ini bisa dilihat di kolom tanggapan kompas.com, bahkan di jagat maya, terlihat pada status updates teman-teman di facebook.com, juga menjadi salah satu trending topics pada minggu-minggu ini di situs twitter.com, demikian juga di situs forum kaskus.us. Woowww...... Mau tahu apa lagi yang mengagetkan dari artikel ini? Semula aku merespon artikel ini biasa-biasa saja, tetapi sambil membaca, aku berpikir di dalam hati siapa niy penulisnya, bolak-balik baca atas bawah tulisan, oohh....., Adjie Suradji, siapa dia? Adjie Suradji ternyata seorang perwira menengah di jajaran TNI AU. Berpangkat Kolonel Penerbang, Pamen Sopsau - staf operasional di Mabes TNI AU. Ayah dari Theo Natalie Barton dan istri Meity Rotinsulu ini pernah menjabat sebagai Komandan Lapangan Udara Syamsudin Noor di Banjarmasin pada 1997-1999. Jabatan yang diembannya waktu itu masih berpangkat Letnan Kolonel Penerbang. Tentu ini tak lazim berlaku di kalangan militer, tindakan ini masuk kategori insubordinasi dan di luar tradisi ketentaraan, mengingat tentara aktif terikat dengan kode etik TNI. Jadi hal ini aneh. Yang menjadi persoalan, mengapa Adjie sampai menulis hal ini. Tentu ada sesuatu yang menjadi kerisauannya. Jelas Adjie menyerang kebijakan pimpinannya, yang notabene Panglima Tertinggi TNI. Adjie jelas menggugat keberanian Presiden Yudhoyono melakukan perubahan di negeri ini. Ia tampak lelah melihat tipe kepemimpinan yang kurang teguh, tiadanya keberanian mengambil keputusan berisiko, dan terlihat secara mencolok menjalankan kepemimpinan populis dengan segala pencitraannya. Sebagai gambaran cobalah lihat contoh sebulan lalu yang dialami Presiden Obama saat dikiritik kebijakannya di ranah tempur Afghanistan, oleh Panglima Tertinggi Pasukan AS di Afghanistan, Jendral Stanley McChrystal yang bahkan sampai membocorkannya ke wartawan, presiden ini (ingat ini di masa jabatannya yang pertama - yang sebenarnya membutuhkan pencitraan baik) segera merespon ke'nakal'an jendralnya dan langsung ditarik ke Washington dan diganti dengan Jendral David Petraeus tanpa gonjang-ganjing berlama-lama dan bertindak tegas, sehingga fokus pemerintahan kembali pada rel semula.

Seringkali kita merasa apakah presiden kita ini selalu dilindungi oleh orang-orang di sekitarnya (inner circle), sehingga melewatkan hal-hal yang sedang hangat di masyarakat. Lihatlah pidato saat menjelang Hari Kemerdekaan ke 65 - 16 Agustus 2010 lalu di parlemen, banyak hal menyangkut persoalan kekinian justru tidak ditanggapi olehnya - misalnya kasus ledakan tabung gas, kenaikan TDL, belum lagi kasus lumpur Lapindo yang sepertinya menguap, hal menyangkut kebebasan beribadah yang terlihat nyata dari tidak adanya langkah tegas dari para penegak hukum untuk menindak ormas-ormas yang anarkis dan masih banyak lagi hal yang ditunggu untuk segera - sekali lagi segera ! Sementara kita sudah menunggu-nunggu apa langkah presiden terhadap suatu persoalan di masyarakat saat ini. Kita masih akan bersama Presiden Yudhoyono untuk empat tahun masa jabatannya yang akan diselesaikan sesuai konstitusi kita, tetapi apakah pilihan gaya kepemimpinannya yang terlalu menekankan citra, kesantunan beliau mungkin oke-oke saja, tetapi ya mbok... jangan berlebihan, rakyat menunggu sikap tanggap beliau. Tak perlulah presiden kita terlalu menjaga citranya, ini sudah masa jabatan beliau yang kedua. Lazimnya kepala negara di dunia ini pada masa jabatannya yang kedua, akan meninggalkan warisan - heritage. Kita menunggu beliau (maunya sich...) tampil beda. Tegas, tak perlu memikirkan pencitraan berlebih terutama menyangkut mayoritas-minoritas, sehingga tak sungkan menginstruksikan kepada jajaran dibawahnya untuk bertindak seharusnya, kasus sengketa batas antar negara yang melibatkan petugas DKP (Departemen Kelautan dan Perikanan) saat ditangkap Polis Marin Diraja Malaysia yang sampai saat ini masih mengundang kekesalan beberapa kelompok masyarakat terhadap arogansi negeri serumpun ini dan penanganan kasus korupsi yang tanpa ampun (walau kadang-kadang hati kita miris, masakan para koruptor ini rata-rata cuma dihukum kurang dari 5 tahun?) dan tidak tebang pilih. Bisakah? Jakarta, 8 September 2010 ------------------------------------------------------------------------- (Diolah dari kompas.com, wikipedia.com, nydailynews.com, Foto Kompas/Heru Margianto, AFP) All related articles, u can find on this bLog site, click..... Stories From The Road...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun