Beberapa minggu yang lalu kakak saya yang berprofesi sebagai guru datang bertanya seputar konten tulisannya. Ia ingin kritik sekaligus saran terhadap tulisannya. Di sekolah ia merupakan ketua bidang literasi, jabatan itu mengharuskannya membuat tulisan yang akan dibukukan.Â
Setahun yang lalu teman saya yang bekerja sebagai jurnalis pernah menanyakan hal yang sama. ya, ternyata menulis bukan perkara mudah bahkan bagi mereka yang sehari-harinya berinteraksi dengan kata dan kalimat. Konon lagi bagi kita yang sangat jarang berinteraksi dengan bacaan, menulis merupakan hal yang sangat sulit.
Apa yang kemudian saya sarankan kepada kakak dan teman saya saat itu, karena bukan penulis profesional, saya hanya menyarankan mereka untuk mengunjungi kompasiana.Â
Saya katakan kepada mereka agar belajar dan berlatih menulis di kompasiana. Beberapa bulan belakangan ini saya sempat berhenti menulis, dan dampaknya terasa saat saya menuliskan artikel ini.
Otak dan tangan kaku, kata dan kalimat yang dahulunya begitu cepat muncul, kini lamban. Jemari yang dahulunya begitu bersemangat menuliskan apa yang ada di kepala, kini lelet bak jaringan internet 2G. Begitu bahayanya dampak berhenti menulis. Berhenti menulis sama halnya seperti berhenti berpikir dan tanpa pikir apa bedanya kita dengan hewan.Â
Saya tak malu mengatakan itu bagi diri saya sendiri, jika Anda tidak setuju saya senang karena bisa jadi saya salah pikir. Namun pertanyaan selanjutnya, apakah seseorang mampu menulis tanpa berpikir.Â
Saya hentikan debat soal itu, sesuai dengan judul tulisan ini, saya ingin berbagi apa yang saya rasakan ketika berhenti menulis. Mengapa berhenti menulis berbahaya, dan bagaimana dengan mereka yang tak pernah menulis.
Kita kerap mendengar adagium hidup soal pilihan. Hari ini adalah hasil dari sejarah terutama para pelaku sejarah. Mereka dengan gigih menuliskan ilmu yang mereka miliki sehingga beragam kemudahan kita nikmati.Â
Bayangkan bila mereka enggan menuliskan apa yang mereka rumuskan atau apa yang mereka temukan. Atau orang-orang setelah mereka enggan menuliskan kisah perjuangan mereka.
Bagaimana hari ini umat Islam misalnya melakukan ibadah jika para penulis hadis dan sejarawan enggan menulis. Ya, peradaban dibangun dengan tulisan.Â