Dua bulan ini kantor-kantor Kepala Desa dipenuhi warganya. Mereka bukan hendak mengurus administrasi kependudukan semisal KTP atau KK. Mereka umumnya protes karena nama mereka tidak tertera di daftar penerima bantuan. Pemandangan itu barangkali Anda temukan di desa atau kampung Anda, atau di desa atau kampung tetangga.
Melihat mereka, saya jadi teringat ketika masa kuliah. Para mahasiswa tiba-tiba berlomba-lomba menjadi miskin ketika pengumuman beasiswa datang. Salah satu syarat untuk menerima beasiswa memang bagi mereka tak mampu secara ekonomi. Akan tetapi syarat itu ternyata hanya dibuktikan dengan sebuah Surat Keterangan (SK) dari desa atau kampung.
Kalau beberapa waktu lalu ada jual-beli Surat Keterangan Bebas Korona yang diperjualbelikan, Surat Keterangan miskin praktiknya mirip. Selama memiliki koneksi dengan petugas kelurahan, surat tersebut mudah didapatkan. Ya, tidak peduli apakah ia benar-benar miskin atau menganggap diri miskin.Â
Perlombaan menjadi miskin demi beasiswa merupakan 'penyakit' jiwa yang sangat disayangkan. Pasalnya mereka orang-orang terdidik, dan pihak kampus yang malas bekerja dengan mudahnya meluluskan praktik demikian.Â
Maka saya tidak begitu terkejut ketika masa bantuan sosial datang perlombaan menjadi miskin pun terjadi. Bahkan mereka yang terdidik telah lama melakukan perlombaan menjadi miskin. Beasiswa yang didapat digunakan untuk pacaran, membeli gadget, serta konsumsi barang yang tidak terkait dengan dunia pendidikan.
Saya tidak tahu apakah perlombaan itu juga terjadi di parlemen dan eksekutif kita. Apakah mereka berlomba-lomba menjadi tak mampu secara ekonomi sehingga meminta fee proyek. Jika sejak mahasiswa mental sudah begitu, ketika menjadi pejabat cenderung begitukah?.
Entahlah, yang pasti perlombaan menjadi miskin di negeri ini sepenuhnya didukung oleh pendataan kita yang buruk. Jika pendataan dilakukan secara benar, tentunya praktik berpura-pura miskin secara ekonomi dapat dicegah semaksimal mungkin.
Seringnya yang terjadi, angka kemiskinan menurun namun penerima bantuan karena miskin bertambah. Perlombaan menjadi miskin masih terus terjadi, akibatnya yang benar-benar miskin terkadang malah tak terbantu. Kalau pun terbantu angkanya kecil, logika sederhananya begini; uang 3 juta yang harusnya dibagikan untuk 10 orang akhirnya dibagikan untuk 15 orang.
Ada penambahan 5 orang yang pura-pura miskin. Kalaupun tetap dibagikan 300 ribu per orang maka pemerintah harus menambah bantuan lebih dari 3 juta. Akibatnya keuangan negara dapat mengalami koreksi, semua bermula dari pendataan yang buruk dan perlombaan menjadi miskin.
Pemerintah harusnya memiliki data yang sahih. Mereka memiliki petugas (ASN) yang menangani bidang itu. Dengan pendataan yang benar, perlombaan miskin tidak perlu terjadi. Hal sama juga harus dilakukan pihak kampus terhadap mahasiswa.