Mohon tunggu...
Don Zakiyamani
Don Zakiyamani Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Kopi Senja

personal web https://www.donzakiyamani.co.id Wa: 081360360345

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Mampukah Jokowi Kalahkan Oligarki?

20 Oktober 2019   17:08 Diperbarui: 20 Oktober 2019   17:15 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari ini (20/10/2019) MPR resmi melantik Jokowi-Maruf sebagai presiden dan wakil presiden. Keduanya diberi amanat melaksanakan konstitusi selama 5 tahun berdasarkan UUD 45. Setelah melewati pilpres yang sengit, dipenuhi trik dan sandiwara politik, mereka kini memiliki tanggung jawab yang besar. Bagi Jokowi tanggung jawabnya lebih besar lagi.

Bagi Jokowi ini kedua kalinya dirinya dilantik. Ia telah melaksanakan tugas lima tahun pertama. Pastinya masih banyak pekerjaan rumah yang belum diselesaikan Jokowi. Salah satunya bagaimana dirinya membuktikan profesionalitas diri. Bukti bahwa dirinya bukan 'boneka' politik yang dikendalikan segelintir orang. Ini harus dijawab Jokowi sendiri, bukan oleh staf maupun wakilnya.

Meski secara lisan selama ini sudah dibantai, akan tetapi publik butuh jawaban lebih nyata. Misalnya dalam penyusunan kabinet kerja jilid II. Apakah prestasi seorang kandidat menteri lebih utama atau deal politik yang lebih prioritas. Bila didasari bagi-bagi kekuasaan maupun tekanan politik berarti oligarki masih kuat bersarang di istana. Artinya Jokowi masih 'boneka' dari mereka. Namun sebaliknya apabila Jokowi mendasari penempatan karena prestasi maka Jokowi telah sukses memberantas oligarki.

Dalam hal pengambilan keputusan pun demikian. Jokowi harus membuktikan dirinya bukan pesuruh segelintir elit di balik layar, entah itu partai politik maupun pengusaha yang berjasa dalam pemenangan pilpres yang lalu. Jokowi harus terbebas dari mereka, boleh saja mereka memberi saran namun bukan saran yang bernada intervensi. Selama ini tradisi berdemokrasi kita masih didominasi para pemilik modal maupun elit yang haus kekuasaan. 

Meski penempatan menteri merupakan hak preogratif presiden terpilih, akan tetapi tidak salah jika presiden memperkenalkan calon pembantunya. Setidaknya rakyat dapat memberi komentar maupun masukan kepada presiden. Tradisi ini belum pernah dilakukan. Kita hanya kenal mereka setelah presiden mengumumkan nama mereka. Padahal para pembantu presiden merupakan eksekutor dari visi dan misi presiden dan wakil presiden.

Apa salahnya jika Jokowi mengubah tradisi demokrasi kita dengan pra pengumuman. Publik pastinya akan mencari tahu siapa calon pembantu presiden selama 5 tahun. Jika mereka ternyata tidak sesuai atau miskin prestasi, pastinya Jokowi tidak perlu mengangkatnya. Sebagai pilihan rakyat, seharusnya Jokowi melibatkan rakyat dalam pemilihan calon pembantunya. 

Jokowi harus membuktikan ia memilih para menteri setelah menerima masukan dari tuannya (rakyat) bukan dari segelintir orang (oligarki). Jangan sampai pembakar hutan malah dijadikan menteri kehutanan, atau pengusaha tambang malah menjadi menteri ESDM. Dan hal-hal lain yang bertentangan. Kita menanti keberanian Jokowi menghabisi praktik oligarki atau Jokowi akan selamanya menjadi 'boneka' dari segelintir orang. Mereka yang mendapatkan manfaat dari kepemimpinan Jokowi bukan rakyat.

Publik menanti dan berharap, presiden merupakan pilihan rakyat bukan slogan saja. Namun hal itu terimplimentasi dalam kinerja Jokowi jilid II. Jokowi harus keluarga dari zona oligarki, periode II merupakan momentumnya. Tidak ada lagi pemilihan baginya setelah ini, tidak perlu lagi takut akan trik mereka. Pengalaman selama 5 tahun sudah cukup bagi Jokowi memetakan politik. Rakyat bukan hanya objek demokrasi akan tetapi pemain utama dalam demokrasi, Jokowi hendaknya paham akan hal itu.

Rakyat tak banyak menuntut, Jokowi-Maruf hanya perlu melaksanakan setiap pasal-pasal dalam UUD 45 dan mengimplementasikan sila-sila dalam Pancasila. Itu artinya sumber daya alam Indonesia harus dinikmati rakyat Indonesia, APBN harus digunakan untuk menegakkan sila ke-5 Pancasila. Gesekan politik identitas harus diredam sebagai upaya pelaksanaan sila ke-3. Dan pelaksanaan sila-sila lainnya selama 5 tahun ini. 

Dan oligarki merupakan parasit demokrasi yang bertentangan dengan semangat pancasila. Semua rakyat Indonesia harus sama kedudukannya di hadapan presiden bukan hanya di hadapan hukum. Barangkali banyak yang pesimis, tentu saja wajar. Toh di negara maju seperti Amerika Serikat praktik oligarki masih berlangsung, konon lagi di Indonesia. Namun ibarat membuka lahan baru, sesuatu harus dimulai oleh Jokowi-Maruf.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun