Thomas Hobbes pernah bilang, kita (manusia) sebagai homo homini lupus. Entah dengan berpikir jernih atau tidak, pernyataannya itu banyak benarnya. Kemarin dan saat ini kita saksikan nyaris di semua bidang kehidupan hukum rimba digunakan. Manusia bak binatang yang hanya ingin memuaskan hasratnya semata.
Tidak peduli apakah hasratnya itu melanggar hak orang lain, merusak ekosistem lingkungan, bahkan menghina aturan Tuhan yang adiluhur.Â
Anehnya, mereka mengakui keberadaan Tuhan dengan segala aturan-Nya, namun di saat yang sama malah menistakan aturan itu sendiri.Â
Padahal akal diberikan agar manusia memahami dan menemukan makna setiap aturan tersebut. Akal pula yang mengarahkan manusia agar berbuat kebajikan bukan malah sebaliknya. Dan dengan akal manusia harusnya beda dengan binatang.
Ibadah kurban yang dilaksanakan setiap tahun memberi isyarat kepada manusia agar menggunakan akalnya. Hewan kurban merupakan simbol dari sifat binatang dalam diri manusia agar disembelih. Ibadah ini bukan ajang pamer apalagi dijadikan ajang promosi politik.
Melalui ibadah ini seseorang harus dapat menyingkirkan sifat kebinatangan dalam diri. Menjadi percuma jika ibadah kurban hanya ritual tahunan tanpa makna. Karena bukan hewan kurban yang diinginkan Allah namun ketakwaan orang yang melaksanakan ibadah ini.
Jika dia seorang politisi maka akan menjadi politisi yang tindakannya memberi manfaat bagi sesama. Tidak curang, culas, licik, malah sebaliknya. Ia akan menjadi pribadi yang amanah, seseorang yang bertindak atas dasar kebaikan dan kebenaran. Begitu pula dengan profesi lainnya.
Binatang dalam diri manusia selama ini selalu mendominasi setiap tindakan manusia. Wajar bila ada kasus ayah kandung menghamili anaknya sendiri, seorang pemimpin agama membodohi pengikutnya, seorang kepala daerah maupun pemimpin politik mencuri uang rakyatnya sendiri.
Kita dapat temukan peristiwa-peristiwa itu dalam kehidupan sehari-hari. Dan tidak tertutup kemungkinan pelaku telah beberapa kali melaksanakan ibadah kurban.Â
Sifat kebinatangan bukan hanya merugikan orang lain maupun negara. Sifat tersebut juga mempengaruhi diri sendiri. Ia menjadikan alat sebagai tujuan sehingga ia tak pernah mencapai tujuan itu sendiri.
Kesalahan itu berakibat pada seringnya manusia diperalat oleh alat. Ada manusia yang diperalat uang, ilmu, jabatan, kekuasaan, dan hal lainnya yang harusnya dijadikan alat namun malah memperalat manusia.
Ada yang berilmu diperalat ilmunya sehingga menjadi congkak bahkan keminter. Akibatnya hoaks berkembang biak, mengalami evolusi dan yang awam sulit membedakan mana benar dan salah. Ada pula yang diperalat uang sehingga menghalalkan segala cara, segala sesuatu diukur dengan uang.
Kesukseskan binatang memperbudak manusia terjadi tanpa pandang ras, suku, agama, maupun jabatan struktural di pemerintahan. Karenanya Islam melalui semangat kurban mengajak manusia kembali pada fitrah dan khittahnya sebagai manusia.
Sulit memang menjadi manusia sesuai fitrah dan khittahnya. Godaan kanan-kiri atas-bawah, dunia nyata dan maya. Sementara sifat kebinatangan dalam diri kian hari semakin canggih. Ada saja pembenaran yang membuat manusia pasrah dijadikan budak kebinatangan.
Mulai dari merasa paling benar hingga merasa paling berhak benar. Mulai dari ingin dipuji sampai yang ingin mengisi perut demi sesaat. Sifat kebinatangan mengajak manusia menjadi sehina-hianya manusia. Meski manusia menolak dihina maupun dikatakan hina.
Sudah saatnya sesekali kita amati prilaku binatang. Lihat bagaimana mereka hanya memenuhi hasrat biologis semata. Namun mereka tidak menjual agama dan tidak melibatkan Tuhan untuk memenuhi hasrat mereka.
Itulah mengapa manusia yang bersifat kebinatangan lebih rendah derajatnya daripada hewan. Dengan berkurban sifat tamak dan rakus, menghalalkan segala cara, diharapkan lenyap.Â
Namun bila sifat kebinatangan masih menguasai manusia, meski berkali-kali ia melaksanakan kurban, bisa jadi ia tak memamahi hakikat berkurban. Ia belum menyembelih binatang dalam dirinya. Ia hanya hewan spesial menurut Darwin dalam the origin of species.
Bayangkan bila kemudian hewan-hewan itu menguasai parlemen. Menjadi pemimpin politik, diserahkan tugas memutuskan masa depan manusia.Â
Selama ini tontonan itu sudah kita saksikan. Para pemimpin politik bahkan pemimpin agama berebut kuasa bak binatang. Dan para tifosi mereka bersorak sambil sesekali mencaci di media sosial.
Terlalu banyak keputusan politik yang didasari sifat kebinatangan. Hanya menguntungkan segelintir orang, bahkan rasa empati lenyap entah kemana. Mereka lupa di belahan sana masih banyak anak-anak tak sekolah dan lapar.
Ketika di daerah makmur merecoki cadar, pakaian seksi, MRT, di Papua masih banyak anak tak bersekolah. Angka stunting yang masih tinggi, di mana rasa manusiawi kita. Apakah kebinatangan sedang berkuasa?
Mengakhiri kekuasaan binatang dalam diri memang bukan perkara mudah. Apalagi manusia dihadiahi rasa tak pernah puas. Lahir rakus. Entah itu rakus kekuasaan maupuan harta benda.Â
Ibadah kurban sejatinya melahirkan kesalehan sosial. Memunculkan kembali empati bangsa ini yang lenyap akibat perburuan kekuasaan. Empatik yang telah tergantikan dengan fanatik. Mari sembelih binatang dalam diri kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H