Ada yang berilmu diperalat ilmunya sehingga menjadi congkak bahkan keminter. Akibatnya hoaks berkembang biak, mengalami evolusi dan yang awam sulit membedakan mana benar dan salah. Ada pula yang diperalat uang sehingga menghalalkan segala cara, segala sesuatu diukur dengan uang.
Kesukseskan binatang memperbudak manusia terjadi tanpa pandang ras, suku, agama, maupun jabatan struktural di pemerintahan. Karenanya Islam melalui semangat kurban mengajak manusia kembali pada fitrah dan khittahnya sebagai manusia.
Sulit memang menjadi manusia sesuai fitrah dan khittahnya. Godaan kanan-kiri atas-bawah, dunia nyata dan maya. Sementara sifat kebinatangan dalam diri kian hari semakin canggih. Ada saja pembenaran yang membuat manusia pasrah dijadikan budak kebinatangan.
Mulai dari merasa paling benar hingga merasa paling berhak benar. Mulai dari ingin dipuji sampai yang ingin mengisi perut demi sesaat. Sifat kebinatangan mengajak manusia menjadi sehina-hianya manusia. Meski manusia menolak dihina maupun dikatakan hina.
Sudah saatnya sesekali kita amati prilaku binatang. Lihat bagaimana mereka hanya memenuhi hasrat biologis semata. Namun mereka tidak menjual agama dan tidak melibatkan Tuhan untuk memenuhi hasrat mereka.
Itulah mengapa manusia yang bersifat kebinatangan lebih rendah derajatnya daripada hewan. Dengan berkurban sifat tamak dan rakus, menghalalkan segala cara, diharapkan lenyap.Â
Namun bila sifat kebinatangan masih menguasai manusia, meski berkali-kali ia melaksanakan kurban, bisa jadi ia tak memamahi hakikat berkurban. Ia belum menyembelih binatang dalam dirinya. Ia hanya hewan spesial menurut Darwin dalam the origin of species.
Bayangkan bila kemudian hewan-hewan itu menguasai parlemen. Menjadi pemimpin politik, diserahkan tugas memutuskan masa depan manusia.Â
Selama ini tontonan itu sudah kita saksikan. Para pemimpin politik bahkan pemimpin agama berebut kuasa bak binatang. Dan para tifosi mereka bersorak sambil sesekali mencaci di media sosial.
Terlalu banyak keputusan politik yang didasari sifat kebinatangan. Hanya menguntungkan segelintir orang, bahkan rasa empati lenyap entah kemana. Mereka lupa di belahan sana masih banyak anak-anak tak sekolah dan lapar.
Ketika di daerah makmur merecoki cadar, pakaian seksi, MRT, di Papua masih banyak anak tak bersekolah. Angka stunting yang masih tinggi, di mana rasa manusiawi kita. Apakah kebinatangan sedang berkuasa?