Diangkat dari novel karya sastrawan legendaris Pramoedya Ananta Toer, film Bumi Manusia bakal meramaikan jagat sinema Indonesia bahkan dunia. Film ini bakal laris manis, terbukti dari antusias masyarakat menyaksikan trailer-nya di YouTube.
Kesuksesan film ini nantinya tentu tak bisa lepas dari novelnya yang juga paling populer di antara karya Pram. Ia memang penulis yang mampu merekam realitas dan menguraikannya menjadi tulisan yang enak dibaca.
Tak salah bila Hanung Bramantyo mengangkat novelnya menjadi tontonan yang memikat. Selain itu, film tersebut dapat dijadikan tuntunan bagi generasi saat ini maupun yang akan datang.Â
Film Bumi Manusia berkisah tentang anak pribumi yang mendapatkan tiket sekolah di HBS. Padahal sekolah itu dikhususkan untuk orang-orang Eropa, terutama Belanda. Kalaupun pribumi ingin bersekolah di HBS, harus keturunan ningrat atau anak pejabat.
Minke (Iqbal Ramadhan), pemeran utama film tersebut, tidak termasuk dalam kualifikasi. Akan tetapi, kelihaiannya dalam menyatukan kata demi kata menjadi kalimat, membuatnya dibolehkan bersekolah di HBS.
Minke penulis yang hebat. Tulisan-tulisannya bahkan mampu menembus koran-koran di Belanda. Selain hebat dalam menulis, ia juga seorang revolusioner.
Terbuktilah apa yang dikatakan Imam Al-Ghazali: "Bila engkau bukan anak raja serta tidak kaya harta, maka menulislah." Minke mendapatkan tiket belajar di sekolah itu bukan karena keturunan ningrat maupun anak pejabat, tapi karena menulis.
Menulis memang kegiatan yang bermanfaat. Melalui tradisi menulis orang-orang terdahulu, kita mendapatkan banyak ilmu. Termasuk kitab suci semua agama, ditulis agar dapat dibaca dari generasi ke generasi.
Film Bumi Manusia tak akan pernah kita tonton apabila Pram tidak menulis novel setebal 305 terbitan Hasta Mitra itu. Pram mampu menarasikan persoalan sosial pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20.Â
Tradisi menulis orang-orang terdahulu harusnya kita lanjutkan. Soekarno dan Hatta bukanlah para pemikul senjata, bukan pula pemimpin di medan perang. Namun mereka lebih ditakuti penjajah pada saat itu karena tulisan-tulisan mereka.
Itu artinya kekuatan tulisan mampu menjadikan Indonesia sebagai negara berdaulat, terbebas dari penjajahan. Sayangnya tulisan-tulisan nasionalisme yang 'menghasut' dan 'memprovokasi' pembaca untuk mencintai negerinya makin jarang kita temukan.
Padahal penjajahan masih berlanjut. Kita sering dijajah pemahaman yang salah. Kita sering dijajah identitas. Kita terlalu sering dijajah ego dan bahkan diperbudak jabatan dan harta.
Dari film Bumi Manusia, kita dapat belajar bagaimana institusi pendidikan sangat menghargai karya intelektual bukan hafalan. Lulus atau mendapatkan tiket sekolah bukan dari hafalan kitab suci maupun hafalan rumus matematika.Â
Kalau sekadar menghafal, tentu lebih hebat robot. Dan kalau yang dijadikan ukuran kelulusan adalah hafalan kitab suci, tentu akan menuju pada penistaan kitab suci itu sendiri. Apalagi bila beberapa ayat ditukar dengan beberapa liter BBM.
Fenomena ini sedang terjadi. Anehnya lagi, fenomena itu sudah masuk ranah perguruan tinggi. Sebuah tempat yang harusnya menjunjung tinggi sikap ilmiah malah menjadi lembaga pembodohan.
Religiusitas seseorang bukan diukur dari hafalan, bukan pula dari simbol-simbol agama. Akan tetapi, dari sikap dan kepribadian seseorang dalam merespons problem kehidupan.
Institusi pendidikan kita harusnya mencontoh bagaimana penjajah yang begitu menghargai intelektualitas seseorang. Sebagaimana dikisahkan dalam film Bumi Manusia.
Dalam film ini, kita akan saksikan pula kisah cinta antara Minke dan Annelies. Sebagaimana novelnya, Annelies merupakan anak dari Nyai Ontosoroh yang merupakan istri simpanan dari Mellema, seorang keturunan Eropa.
Sebagai istri simpanan dari keturunan Eropa, Nyai Ontosoroh dianggap sepele bahkan dikucilkan dari pergaulan. Namun ia menjawab semua keraguan dengan belajar. Meningkatkan kualitas dirinya tanpa kenal lelah.
Nyai Ontosoroh sebagaimana Minke telah melampui identitasnya. Saat ini, yang tersulit dilakukan bangsa ini ialah melampui identitasnya. Kita cepat marah apabila identitas agama, suku, maupun dukungan politik dihina.
Akibatnya, kita sulit berbaur dengan identitas yang berbeda. Kita selalu curiga bila identitas lain lebih baik. Kita malah menyalahkan identitas orang lain yang dibawanya sejak lahir. Identitas yang tidak bisa dipilihnya.
Minke menjawab keraguan identitasnya yang bukan Eropa maupun ningrat dengan intelektualitas. Kasta yang dibawanya sejak lahir tidak membuatnya berkecil hati, malah membuatnya kritis dan revolusioner.
Nyai Ontosoroh yang dihina identitasnya juga menjawabnya dengan intelektualitas. Ia melahap buku-buku bak makanan pokok. Usaha kerasnya tidaklah sia-sia. Ia melampui identitas etnisnya.Â
Nyai Ontosoroh menjawab hinaan dengan prestasi bukan dengan kemarahan apalagi kekerasan. Bagaimana dengan kita? Apakah masih sering marah bila identitas dihina?
Bukankah lebih baik menjawab hinaan dengan prestasi ketimbang membalasnya dengan hinaan? Bukankah orang-orang suci dan hebat di masa lalu juga sering dihina namun tak membalas hinaan tersebut?
Diperankan Iqbal Ramadhan dan aktor hebat lainnya, menurut saya, film Bumi Manusia layak ditonton. Selamat menonton buat teman-teman yang di kotanya ada bioskop. Menulislah sebagaimana Minke, agar keinginan dapat tercapai. Believe it.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H