Bulan Mei bisa dikatakan bulan Mahasiswa. Aksi mahasiswa 98 sukses menggulung rezim berkuasa selama 32 tahun, sebuah rezim yang dalam hitungan matematis sulit dijatuhkan. Namun fakta sejarah berkata lain, Soeharto akhirnya mengundurkan diri. Sebuah fase baru dalam perpolitikan kita, sebuah era baru akhirnya datang dan mahasiswa sebagai pahlawannya. Kini publik bertanya, apakah mahasiswa masih bisa dikatakan sebagai kelompok moral force?
Pertama harus diakui bahwa zaman terus berganti, tantangan kehidupan terus bertambah. Tergilas zaman atau mengikuti keinginan zaman, mahasiswa dihadapkan pada persoalan itu. Mantan aktivis mahasiswa yang kini menjabat juga tak sehebat ketika menjadi mahasiswa. Artinya mahasiswa kehilangan teladan.
Para senior mereka tak mampu menjadi teladan, integritas mereka dikalahkan uang dan jabatan. Akibatnya krisis kepercayaan muncul dalam diri mahasiswa, benarkah para senior mereka memperjuangkan kepentingan rakyat? Atau jangan-jangan mereka memperjuangkan masa depan pribadi dengan 'menjual' nama rakyat. Keraguan itu terus terjadi, mahasiswa kini mencari jalan sendiri.
Perkembangan zaman ikut memaksa, mahasiswa dihadapkan pada kepentingan personal. Era kompetisi memecah konsentrasi mereka. Haruskah berjuang demi rakyat secara bersama atau menjadi akademisi yang pada akhirnya dapat berjuang demi rakyat. Kini dengan hadirnya ketidakstabilan negeri, mahasiswa dipanggil. Lalu apa yang akan mereka lakukan pada saat isu gerakan 22 Mei 2019?
Menurut saya yang dilakukan mahasiswa tak banyak, Ketua lembaga bisa memanfaatkan momen ini sebagai bargaining politik. Sebahagian tetap fokus pada games online, sebahagian biasa saja merespon, dan sebahagian hanya akan berkomentar di sosial media. 22 Mei 2019 akan berjalan sebagaimana hari-hari yang lain.Â
Tak ada gerakan istimewa dari mahasiswa, toh para senior mereka terus mewanti-wanti agar tak sembarangan bergerak. Terutama senior-senior yang sedang nyaman dengan ruangan ber-AC serta seabrek fasilitas lainnya. Maka, kalian ngopi saja, tak perlu ikut-ikutan.
Jika mahasiswa mencoba bergerak, para senior akan mampu menghentikan. Ikatan emosional junior-senior dapat berdampak positif maupun negatif. Kali ini gerakan emak-emak menurut saya lebih militan, karena mereka yang merasakan langsung enak atau tidaknya rezim berkuasa.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H