Dua orang minoritas ini, Ahok dan Rocky Gerung selalu renyah dibicarakan apalagi ditulis. Keduanya menjadi newsmaker media daring maupun cetak serta elektronik.
Keduanya menghadapi kasus yang nyaris serupa meski tak sama, bahasa lisan yang dianggap menghina atau diksi yang lebih dikenal dengan penistaan.
Meski kasus Ahok telah berlalu, bukan berarti tak layak kita diskusikan kembali di warung-warung kopi. Sama halnya dengan kasus yang mengharuskan Rocky Gerung bolak-balik diperiksa penyidik kepolisian.
Kedua kasus memiliki kesamaan dampak meski berbeda respons. Dampak yang ditimbulkan Ahok dan Rocky membuat kita perlu kembali belajar, dekonstruksi pemikiran sehingga kejumudan yang selama ini melekat dapat terkikis melalui dialektika dan belajar kembali.
Lalu apa yang membedakan pernyataan Ahok dan Rocky? Menurut pandangan saya, perbedaan terletak pada objek yang terkena dari ucapan keduanya. Bila Ahok hanya menyasar umat Islam, maka Rocky lebih umum.
Perbedaan lainnya, Ahok merupakan pejabat publik yang seharusnya menyadari isu sensitif, perlu kehati-hatian dalam mengeluarkan pernyataan terkait SARA. Sementara Rocky, seorang akademisi yang ingin mengajak kita berdialektika.
Kini, nasib Rocky bakal sejajar dengan Ahok bila dinyatakan bersalah. Meski Rocky dengan gamblang sudah menjelaskan fiksi yang dia maksud, namun bahasa hukum dan akademis terkadang tak sejalan. Hukum produk politik, sementara akademik produk benturan ilmu pengetahuan.
Jika kita merujuk KUHP pasal 156 yang menyebutkan bahwa ada sebuah larangan menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia.
Barangkali Ahok dianggap telah melakukan itu sehingga hukum menyatakan ia bersalah, meski secara akademis masih bisa diperdebatkan. Konon, pasal-pasal 'karet' masih menjadi momok menakutkan, kita takut berkata-kata meski di negara demokrasi.
Diksi 'perasaan' yang dimaksud dalam pasal tersebut sangat subjektif. Bagaimana kita mengukur sebuah perasaan? Seorang akademisi seperti Rocky yang menyampaikan teori keilmuan di depan dan ruang publik bakal dikenakan pasal perasaan.
Kasus Ahok jangan sampai menjadi justifikasi untuk melakukan hal yang sama pada Rocky. Jelas Rocky tidak menyentuh doktrin dan ajaran sebuah agama, ia hanya menganalogikan dan redefinisi apa itu fiksi. Beberapa Kitab Suci memang merupakan hasil perenungan manusia.