Bila mengambil definisi Rocky soal fiksi, maka kita temukan kebenaran. Umat Islam bergerak karena kitab sucinya, bukan karena yang lain. Fiksi memang sebuah quantum yang luar biasa.
Derrida memengaruhi pemikiran Rocky. Melalui pemahaman baru soal fiksi, Rocky ingin kita memiliki bekal redefinisi teks sebagaimana yang dilakukan Derrida. Ahok tidak melakukan apa yang dilakukan Rocky karena Ahok tidak cukup bekal memaknai ayat yang ia maksud.
Pernyataan Rocky, jika dihubungkan dengan Gadamer, juga sangat sejalan. Menurutnya, bahasa tidak pernah bermakna tunggal. Bahasa selalu memiliki beragam makna, dan itu justru harus diakui dan dirayakan, bukan malah dilaporkan.
Jangan sampai kita menjadi masyarakat jahiliah di masa Nabi Muhammad, maupun masa nabi-nabi lainnya. Pemahaman baru dibalas dengan hujatan dan cacian, padahal bahasa memiliki fitrahnya, yaitu multi-makna.
Dalam hal ini, Ahok dan Rocky kembali berbeda. Ahok menyerang orang yang memaknai ayat (51) Al-Maidah, sementara Rocky tidak menyerang siapa pun; ia hanya memberi menu baru dalam memahami fiksi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H