Selepas debat kedua dilangsungkan, nyaris semua penonton menyatakan bahwa Jokowi bakal menang. Jokowi dianggap sukses dengan serangan personal terhadap Prabowo. Itu artinya Jokowi nyaris menang dan Prabowo nyaris kalah.
Namun kita tidak boleh buru-buru menilai bahwa debat kedua sebagai rebound Jokowi. Masih banyak faktor lain yang perlu dipertimbangkan. Salah satunya kegalauan Jokowi atas mandeknya elektabilitasnya. Saya tidak menyangka Jokowi begitu galau hingga harus mengkhianati dirinya sendiri.
Serangan Jokowi kepada Prabowo merupakan bukti bahwa dirinya sudah siap menjadi oposisi. Padahal yang ideal menyerang itu Prabowo, sebab ia oposisi dan Jokowi pemerintah. Namun fakta debat malah menunjukkan sebaliknya; ada apa dengan Jokowi?
Dugaan saya terkait dengan Masa pilpres yang tak lama lagi. Sementara wakilnya kali ini tak selincah Jusuf Kalla, kesalahan yang tak mungkin diralat. Ma'ruf Amin tak banyak membantu elektabilitas. Itulah mengapa saya berani katakan Jokowi dalam keadaan galau.
Sejauh ini serangan Jokowi kepada Prabowo cukup liar. Beragam opini muncul ke permukaan dan dianggap menguntungkan. Namun bagi yang ingin demokrasi lebih maju, serangan itu merupakan kemunduran. Kita sudah sepatutnya tak lagi membahas personal calon. Harusnya yang kita persoalkan visinya.
Apa hendak dikata, Jokowi telanjur galau dan melampiaskan dengan serangan personal.
Ini bukan Jokowi, selama ini Jokowi tidak pernah menyerang personal seseorang. Ini menjadi titik terendah Jokowi selama menjadi politisi. Siapa pun pembisik Jokowi, ia telah merusak Jokowi, telah menjadikan Jokowi selevel Abu Janda.
Tim pemenangan Jokowi sebaiknya melakukan evaluasi. Mencermati siapa yang telah 'merusak' Jokowi sehingga jauh dari kata negarawan.
Debat kedua, menurut saya, bukan soal siapa yang menang, akan tetapi soal etika berpolitik. Kesantunan Jokowi luntur ketika ia menyerang kepemilikan pribadi lawan. Seolah ada sentimental di sana.
Kini publik yang berakal sehat sangat kecewa dengan kegalauan Jokowi. Meski kapasitasnya dalam debat sebagai capres, namun di saat yang sama ia masih kepala negara.
Bagaimana mungkin kepala negara begitu sentimen pada rakyatnya meski lawan politik? Jokowi harusnya lebih sabar, lebih bijak, dalam menghadapi oposisi.