Pertanyaan kompasiana, KOMPAS, dan beberapa media besar minggu ini adalah; "bagaimana pendapat anda terhadap 3 tahun pemerintahan Jokwi-JK?". Walaupun redaksi kalimat pertanyaan setiap media berbeda namun subtansi pertanyaannya sama.
Inilah era demokrasi, kita yang awam sekalipun halal mengevaluasi kepemimpinan nasional. Kita yang buta aksara, buta politik, defisit literasi, maupun pengangguran sekalipun, tetap halal mengkritisi Presiden dan Wakilnya. Kita patut mensyukuri situasi ini.
Rasa syukur bukan sebatas lisan, namun dengan mengisi demokrasi. Mengisi demokrasi dengan berpartisipasi aktif terhadap nasib negara. Partisipasi jangan dipahami harus menjadi tokoh parpol atau partisan parpol. Partisipasi aktif diera demokrasi disesuaikan dengan kapasitas masing-masing.
Seorang dosen atau guru, jangan tiran terhadap siswa/mahasiswanya. Seorang jurnalis jangan menulis kebohongan, demikian pula para penulis. Seorang pedagang hendaknya tidak memonopoli barang dan jasa, berbagilah dengan pedagang lainnya, terutama pedagang yang masih kecil.
Seorang pembaca hendaknya mendengarkan kedua otaknya dan hatinya sebelum bereaksi atas apa yang dibaca. Ini penting dilakukan agar berita hoax tidak mudah dikonsumsi. Begitulah kira-kira cara mengisi demokrasi kita.
Sekarang mari kita nilai pemerintahan Jokowi-JK yang telah berjalan 3 tahun. Pertama sekali kita harus sepakat, siapapun pemimpin diatas muka bumi ini akan ada minus dan plus. Kedua, penilaian saya, anda, mereka, bisa jadi sama namun kecenderungan berbeda. Ketiga, apapun hasil penilaian kita tidak akan mengganggu persatuan kita.
Secara umum Jokowi-JK sudah berusaha melakukan yang terbaik, kalaupun belum, masih ada 2 tahun tersisa. Bila dibandingkan dengan SBY, Jokowi relatif unggul dalam mengendalikan JK. Masa pemerintahan SBY-JK tampak JK lebih mendominasi. Sementara Jokowi tampak lebih mendominasi dibandingkan JK. Bisa jadi faktor usia dan eksistensi JK di partai Golkar yang telah redup.
Bidang Ekonomi
Pasangan Jokowi-JK selama 3 tahun ini bisa menyakinkan Fitch Ratings, dan Moody's, serta Standard and Poor's (S&P) (KOMPAS, 17/10/2017). Hal itu berarti iklim investasi di Indonesia sejak 1998 telah pulih, akan tetapi pemerintah patut berhati-hati bila nantinya pengusaha lokal tidak mampu bersaing. ini bukan soal anti investasi akan tetapi mencegah dominasi Asing terhadap ekonomi kita.
Selain itu, salah satu terobosan baru Jokowi-JK dalam bidang ekonomi yang belum pernah dilakukan SBY maupun Megawati serta Habibie ialah Tax-Amnesty. Program ini sukses dilakukan Jokowi-JK dan patut diapresiasi. Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam usahanya mengejar para penggelap pajak bahkan telah melakukan pertemuan dengan Menteri Urusan Hukum dan Keuangan Singapura, Indranee Rajah. Upaya ini sekaligus ratifikasi kedua negara terhadap MCAA, Â kesepakatan multilateral tentang pelaksanaan pertukaran informasi secara otomatis (AEoI) melalui skema standar pelaporan bersama (CRS). Kesepakatan itu dikelola Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD).
Kita ketahui bersama bahwa tahun 2017 Indonesia melaksanakan pilkada serentak tahap I, setidaknya ada 7 provinsi dengan melibatkan 76 kabupaten dan 18 kota. Jokwi-JK sukses melaksanakan pilkada tahap pertama tersebut, walaupun sempat terjadi tensi politik yang tinggi namun secara umum pilkada berjalan damai.Â
lalu bagaimana dengan bidang lainnya? secara umum selama 3 tahun ini Jokowi-JK dapat menstabilkan kondisi walaupun tentu saja ada beberapa perbaikan yang harus dilakukan keduanya. Misalnya terkait hutang luar negeri dan angka kemiskinan serta pengangguran. Menurut data BPS pada bulan Maret 2017, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan) di Indonesia mencapai 27,77 juta orang (10,64 persen), bertambah sebesar 6,90 ribu orang dibandingkan dengan kondisi September 2016 yang sebesar 27,76 juta orang (10,70 persen). Itu sebabnya Presiden Joko Widodo meminta anggaran untuk pengentasan kemiskinan pada tahun depan diperbesar nilainya.
Selain dua persoalan klasik diatas, Jokowi-JK memiliki dua agenda politik yang harus dilaksanakan pada tahun 2018 dan 2019. Dua agenda yang menyedot energi, baik materiil maupun psikis rakyat Indonesia. Pilkada serentak (2018) dan pemilu (2019). Sehebat apapun mereka tanpa dukungan rakyat dan parlemen, mereka bakal gagal memimpin disisa pemerintahan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI