Mohon tunggu...
Donny Orlando
Donny Orlando Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

"Sikit-sikit Main Lapor"

14 Februari 2017   15:45 Diperbarui: 14 Februari 2017   15:49 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kegaduhan di tingkat elite akhir-akhir ini rasa-rasanya telah sampai tingkatan yang meresahkan masyarakat. Kondisi psikologis masyarakat yang tadinya tentram lalu kemudian diaduk menghangat. Situasi ini tidaklah perlu dibiarkan berlanjut lebih panas lagi, cukup sekedar suam-suam kuku saja.

Tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu pemicu gaduhnya situasi saat ini dimulai dari panasnya suhu politik menjelang Pilkada 2017 yang tinggal hitungan hari lagi. Masing-masing calon mempunyai pendukung militannya sendiri-sendiri. Semua calon juga berharap keluar sebagai pemenangnya. Jurus-jurus terbaik pun dikeluarkan.

Bila bersaing secara baik, jujur, dan sehat, maka idealnya arena pemilihan ini akan menjadi ajang saling adu visi, misi, ide, diskursus, serta program unggulan. Kalau sudah begitu, masyarakatlah yang diuntungkan lewat edukasi dan sosialisasi program. Namun sebaliknya, bila segala cara kotor dilakukan hanya untuk menang, maka yang tersaji di masyarakat tidak lebih dari berita dan informasi penuh sampah, bohong, tipu muslihat, benci, intrik, fitnah, pembunuhan karakter, dan pemutarbalikkan fakta. Alhasil, masyarakat pun terkotak-kotak penuh curiga.

Semua akumulasi ini berkembang secepat kilat menjadi edan. Jangankan salah bersikap, salah bicara sedikit saja bisa langsung ramai-ramai dihakimi, ditarik-tarik benang merahnya, kalau perlu ditambahkan bumbu adu domba, lalu dijadikan viral di media sosial. Kalau sudah begini, lengkap sudah menu kebisingan yang tersaji untuk masyarakat.

Bukan Jati Diri Bangsa

Kini, gaduhnya elite telah mengambil bentuk berupa aksi saling lapor. Media digital cnnindonesia.com pada 25 Januari 2017 melansir berita dengan judul Musim Saling Lapor, Dari Rizieq Hingga Megawati. Mengutip laman itu, kita menyaksikan bahwa banyak laporan masyarakat untuk dugaan perkara yang boleh dibilang serupa tapi tak sama. Pihak terlapornya pun sesungguhnya ada di dalam lingkaran yang itu-itu saja, antara pentolan Front Pembela Islam Rizieq Shibab, Gubernur DKI Jakarta non-aktif Basuki Tjahaja Purnama, dan loyalis kedua belah pihak.

Penulis tidaklah memiliki kapasitas atau kompetensi untuk membahas tuduhan atau dugaan yang ditujukan kepada mereka yang saling lapor. Apalagi mencoba memberikan pandangan atau pendapat dari perspektif hukumnya. Biarkanlah hukum dan instrumen pendukungnya bekerja secara mandiri, adil, dan profesional. Toh, di negeri ini semua orang tanpa terkecuali  adalah sama kedudukannya di hadapan hukum.

Tidak ada yang salah juga dari banyaknya laporan ke polisi seberapa pun banyaknya. Laporan masyarakat kepada aparat merupakan hak atau kewajiban setiap warga negara. Apalagi kalau sampai ada pihak tidak bertanggung jawab yang dengan sengaja menyebarkan berita bohong, fitnah, benci hingga menyerang ranah pribadi orang lain.

Namun, tentunya aksi saling lapor begini tentu bukanlah cerminan jati diri kita sebagai sebuah bangsa. Selain tidak lazim, aksi saling lapor tersebut membuktikan bahwa kita kerap kali melupakan budaya musyarawah mufakat yang mengedepankan kedamaian dalam mencari solusi guna menyelesaikan setiap permasalahan. Luntur pulalah kerukunan kita sebagai saudara sebangsa. Seolah-olah tenaga, waktu, dan pikiran yang ada hanya terkuras untuk saling menuduh dan mencari-cari kesalahan. Seakan-akan mencari kambing hitam yang tidak pernah selesai.

Semoga aksi saling lapor semacam ini dihentikan guna menjauhi polemik yang lebih jauh. Apalagi sampai menghilangkan kebebasan berpendapat karena takut dilaporkan misalnya ketika mengkritik kebijakan pemerintah. Syukurlah, walau dirasakan sedikit terlambat, masifnya fenomena ini kabarnya telah mendorong pemerintah untuk segera membentuk Dewan Kerukunan Nasional. Lembaga ini nantinya mengemban tugas utama untuk memediasi permasalahan sebelum masuk ke jalur hukum. Sebuah langkah yang patut diapresiasi.

Penutup

Kritik tidaklah sama dengan sekedar melempar pendapat benar atau salah. Kritik bukan pula sekadar ajang pembuktian kesilapan pihak yang berseberangan. Kritik yang baik, selain disampaikan dengan tutur kata yang baik, juga dihadirkan dengan maksud menciptakan sebuah ruang diskusi yang sehat guna menemukan solusi yang terbaik. Oleh karena itu, kritik sepatutnya disertai uraian penjelasan ,pertimbangan, dan argumentasi. Bukan lantas untuk memaksakan kehendak si empunya.

Kita perlu seyogianya membatasi diri sendirinya. Berpikir ulang sebelum berucap atau bertindak. Jangan pulalah terlalu sering mengulangi kesalahan yang sama, lantas buru-buru memohon maaf. Jangan pulalah merasa diri paling benar, pintar, hebat atau superior sehingga mudah menyalahkan orang lain yang berbeda pandangan. Bukankah seperti ilmu padi, kian berisi kian merunduk. Semakin tinggi ilmunya, bukannya semakin sombong, malah semakin rendah hatinya. Jangan-jangan kita yang memaknai terlalu dalam atau melebih-lebihkan pada perasaan terhadap ucapan lawan bicara. Terlalu baper istilah anak mudanya.

***

Lamunan penulis kembali ke masa sekolah berseragam putih merah. Sebagai bocah yang cukup bandel kala itu, penulis kerap kali iseng menjahili teman-teman lainnya. Sesekali berujung pula dengan perkelahian. Tentu cuma perkelahian ala-ala bocah. Lima menit pertama kami saling membenci, lalu lima menit kemudian seakan semua perselisihan menguap  dan semuanya kembali akrab bermain.

Bocah-bocah itu ternyata merencanakan sebuah aksi balasan. Tidak tanggung-tanggung, mereka kompak mengangkat penulis dan diceburkan ke dalam kolam ikan di sekolah. Alhasil, seragam hari itu basah kuyup tanpa ada penggantinya. Malu sekali rasanya kala itu. Sesampainya di rumah, ibuku pun menjadi tempat melapor panjang lebar. Ibu hanya menjawab dengan santainya, “Nak, namanya juga berkawan.Hari ini kau bilang mereka jahat, besok sudah balik bermain bersama. Tak usah terlalu dibawa hati. Tak usah sikit-sikit main lapor !” Nah, lho!

Penulis adalah pemerhati masalah sosial. Email : jansparcow@gmail.com

Tulisan ini telah terbit di Harian Analisa di Medan pada tanggal 06 Februari 2017 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun