Pasti Anda sering mendengar orang di sekitar kita, teman, keluarga, tua, muda mendengar kata "eh kamu udah lihat belum video ini? Lagi viral loh sekarang di youtube sama instagram". "coba deh kamu cek nih, kok bisa kaya gini yah?''.Ya, percakapan atau kelimat tersebut saya yakin pasti sudah sering kita dengar. Bukan hal yang sulit, kita hidup di mana zaman serba canggih dengan adanya internet, teknologi informasi, gadget dan sebagainya. Gadget atau peralatan smartphone canggihbukan lagi hal yang susah untuk didapat, dengan harga yang cukup untuk dijangkau, terkoneksi dengan jaringan internet, banyaknya provider yang berlomba-lomba memberikan layanan internet yang murah. Hal inilah yang membuat para netizen atau warga dunia maya sering menghabiskan waktu berjam-jam untuk mengakses internet dari genggaman mereka.
Data pengguna internet di Indonesia menurut survey yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia (APJII) mengungkap bahwa lebih dari setengah penduduk Indonesia kini telah terhubung ke internet. Survei yang dilakukan sepanjang 2016 itu menemukan bahwa 132,7 juta orang Indonesia telah terhubung ke internet. Adapun total penduduk Indonesia sendiri sebanyak 256,2 juta orang.
Data survei juga mengungkap bahwa rata-rata pengakses internet di Indonesia menggunakan smartphone atau perangkat pintar genggaman. Berikut statistiknya:
- 67,2 juta orang atau 50,7 persen mengakses melalui perangkat genggam dan komputer.
- 63,1 juta orang atau 47,6 persen mengakses dari smartphone.
- 2,2 juta orang atau 1,7 persen mengakses hanya dari komputer.
Meski demikian, penetrasi internet tersebut mayoritas masih berada di Pulau Jawa. Dari survei yang dipresentasikan oleh APJII itu tercatat bahwa sekitar 86,3 juta orang atau 65 persen dari angkat total pengguna internet tahun ini berada di Pulau Jawa.
Sedangkan sisanya adalah sebagai berikut:
- 20,7 juta atau 15,7 persen di Sumatera.
- 8,4 juta atau 6,3 persen di Sulawesi.
- 7,6 juta atau 5,8 persen di Kalimantan.
- 6,1 juta atau 4,7 persen di Bali dan NTB.
- 3,3 juta atau 2,5 persen di Maluku dan Papua.
Kemudian adapun data Perilaku Pengguna Internet di Indonesia, dengan alasan mengakses:
- Update Informasi sebesar 25,3% (31,3 juta)
- Terkait pekerjaan 20,8% (27,6 juta)
- Mengisi waktu luang, 13,5% (17,9 juta)
- Sosialisasi 10,3% (13,6 juta)
- Terkait pendidikan 9,2% (12,2 juta)
- Hiburan 8,8% (11,7 juta)
- Bisnis, Berdagang & Cari Barang 8,5% (10,4 juta)
Bila dilihat dari data hasil survey APJII bagaimana fenomena Viral di jagat dunia maya bukan lagi hal yang asing. Kata Viral dalam Kamus Besar Bahas Indonesia (KBBI) berarti "virus atau segala sesuatu yang berifat menyebar dengan sangat cepat. Kata viral berasal dari 2 kata, virus dan virtual. Dari penjelasan dua kata tersebut, kata Viral yang belakangan ini sering kita dengar dapat diartikan sebagai sesuatu hal informasi, kejadian, berita dan lainnya yang menyebar luas dan secara cepat sehingga diibaratkan seperti Virus, dan dalam waktu yang singkat dapat menjadi gempar melalui dunia maya, internet atau media sosial. Bertambah satu lagi perbendaharan kata baru bagi kita, sehingga kita bisa mengucapkan kata viral dan tahu maksud dari kata Viral tersebut.
Jiika fenomena viral ini berasal dari sosial media, yang mana pengguna atau user medsos menjadi aktor secara pasif dalam proses dan terjadinya viral, lalu bagaimana denga media online? Apakah media online tidak terkena radiasi fenomena virus virtual tersebut?
Akhir-akhir ini bila kita melihat bagaimana fenomena viral di sosmed telah merambah ke dalam media berita online. Bila ada sesuatu yang viral di sosial media maka tak buruh waktu lama artikel maupun informasi viral tersebut akan dimuat atau di upload pada media berita online.
Kebanyakan media online saat ini atas nama kecepatan, namun kadang menyampingkan kode etik jurnalis maupun nilai beriat itu sendiri. Persoalannya ialah colaborating report. Dimana jurnalis tidak lagi mencari, menulis, dan menerbitkan berita. Semakin ke sini, jurnalis fungsinya hanya sebagai penyalur atau penyebar luas berita dari sumber media sosial, dalam hal ini media online.
Persoalan di ranah jurnalis ini mendapat perhatian dari dewan pers dan para jurnalis lainya yang melihat apa yang pada media online. Hal ini sudah pada titik tindak tegas, Presiden Jokowi pun sampai ikut bicara mengenai persoalan ini. Seperti yang dikutip dari kumparan.com"Sekarang isu-isu yang berkembang di media sosial, seringkali menjadi rujukan baik untuk media mainstream maupun media setting kebijakan. Karena isu-isu di media sosial yang viral, mau tidak mau harus dihadapkan dengan suara masyarakat,". Juga "Landscape media pun berubah, media-media mainstream cetak elektronik sekarang harus bersaing dengan munculnya media-media online. Dan media sosial yang selalu mendahului peristiwanya, belum ada saja sudah mendahului," ucap Jokowi.
Berbagai jejaring sosial dan media sosial yang berfungsi sebagai penyedia informasi bagi warga masyarakat, dimanakah letak dan peran jurnalis dalam dunia baru ini? Apakah mereka akan menggunakan jejaring sosial dan media sosial sebagai sumber informasi? Apakah jejaring sosial dan media sosial dapat dipercaya (credible) dan karenanya layak menjadi sumber informasi? Bagaimana dengan prosedur standar memperlakukan berita yang didapat dari jejaring sosial dan media sosial?
Pertanyaan lainnya adalah apakah jurnalis akan menggunakan jejaring sosial dan media sosial untuk menyebarluaskan informasi yang mereka olah? Bagaimana dengan kode etik jurnalistik yang mengikat mereka? Penggunaan jejaring sosial dan media sosial memberikan jurnalis suatu platform baru dalam memasarkan media mereka berikut tulisan mereka.Â
Disadari, ada kekosongan hukum terkait praktik jurnalisme dalam media online. Undang-undang  Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers) tidak mengatur soal komunitas, model-model baru praktik pemberitaan dalam media online, juga distribusi berita dalam ranah media sosial. Bisa dipahami, ketika UU itu dibuat aneka praktik jurnalistik di media online belum ada seperti saat ini. Aturan hukum soal internet yang dimiliki Indonesia adalah Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Eletronik (UU ITE).
Maka dari itu Dewan Pers bersama organisasi pers, pengelola media siber, dan masyarakat menyusun Pedoman Pemberitaan "Pedoman Pemberitaan Media Siber" yang terdiri dari sembilan poin, salah satu diantaranya yaitu "Verifikasi dan keberimbangan berita".Dalam poin ini saya akan membahas fenomena viral yang juga mempengaharui jurnalis dalam menulis berita.
Media-media online yang ada saat ini di Indonesia, mulai dari yang tidak terdaftar sebagai aliansi jurnalis hingga media-media online ternama dan terbesarpun ikut menjadi bagian dari fenomena viral tersebut. Yang perlu diperhatikan adalah mengacu pada "Pedoman Pemberitaan Media Siber" poin yang ke-2 menelisik tentang verifikasi. Ya, verifikasi dalam arti cross check atau check and re-check.
Apakah Anda masih ingat akhir-akhir ini hal-hal apa saja yang sedang trending atau viral di media sosial maupun internet? Saya yakin pasti banyak sekali. Lalu yang menjadi persoalan adalah peran jurnalis berubah dan berkembang dari news gathering atau peroses mencari, menulis, editing hingga dimuat di halaman media kini menjadi penyebar luas berita.
Dalam poin yang kedua tentang Pedoman Siber, dimana ditegaskan "Subyek berita yang harus dikonfirmasi tidak diketahui keberadaannya dan atau tidak dapat diwawancarai" bila melihat persoalan diatas, sering kikta jumpai para penulis berita mengutip komentar-komentar dari para netizen disosial media, terkait suatu hal yang sedang viral.
Bila dilihat pengutipan komentar dari para netizen dari kolom komentar, merupakan sesuatu yang sepertinya keliru dan menyimpang dari poin kedua dalam Pedoman Siber. Netizen adalah warga dunia maya yang mana profil dan identitasnya jelas. Bisa saja akun yang berkomentar adalah akun palsu, yang tidak memberikan data diri atau profil pribadi yang lengkap.
Kemudian subjek berita atau orang yang menjadi topik dalam subyek ini belum tentu dapat dijangkau atau ditemui secara langgsung untuk diverifikasi. Wartawan butuh verifikasi dari narasumber yang jelas. Namun sayangnya terkadang yang menbjadi acuan adalah komentar-kontar yang dikutip. Ciri-ciri berita viral ini biasanya hanya muncul sesaat dalam kurun waktu jangka pendek, kemudian tertutup oleh fenomena viral lainya. Yang seharusnya dilakukan oleh wartawan atau penulis ketika mengupload berita maka perlunya pemberitahuaan kepada pembaca bahwa berita tersebut perlu adanya verifikasi selanjutnya. Seperti yang tertera dalam poin nomor dua bagian ke empat a.) Media memberikan penjelasan kepada pembaca bahwa berita tersebut masih memerlukan verifikasi lebih lanjut yang diupayakan dalam waktu secepatnya. Penjelasan dimuat pada bagian akhir dari berita yang sama, di dalam kurung dan menggunakan huruf miring. Kemudian b.) Setelah memuat berita sesuai dengan butir (c), media wajib meneruskan upaya verifikasi, dan setelah verifikasi didapatkan, hasil verifikasi dicantumkan pada berita pemutakhiran (update) dengan tautan pada berita yang belum terverifikasi.
Setelah persoalan ini, kita bisa melihat bahwa media online juga di tuntut untuk lebih interactivity. Media dengan netizen atau user diberikan ruang atau forum untuk  bisa berinteraksi. Terkadang dari forum inilah para waratawan atauy penulis memanfaatkan forum sebagai sumber informasi. Ternyata fenomena viral dan media online tidak hanya terjadi di Indonesia. Di luar negeri pun hal serupa terjadi, dimana jurnalis kini berpatok pada sumber yaitu media sosial dan internet. Terkadang bila melihat fenomena ini dari sisi dunia jurnalistik, seperti adanya perubahan dan pergeseran bagi media. Teknologi dan internet hadir mengubah segalanya seperti terlihat instan dengan sekali klik. Kesimpulan yang dapat diambil adalah bagaimana jurnalis tetap berpedoman pada etika jurnalistik, itu kaidah. Kemudian bagi para audiens atau netizen untuk lebih cerdas dalam melihat suatu fenomena terkait berita yang sedang viral. Dan juga tantangan bagi para awak media untuk menjalankan fungsinya seperti sedia kala serta mendidik para audiens agar semakin bijak dan cerdas dalam menaggapi suatu berita.
DAFTAR PUSTAKA
Nahon & hamsley (2013). Going Viral.
Polity Press. UK
Greber & Martin (2009). Digital Culture: Understanding New Media.
Bell & Bain Ltd. UK
Pavlik (1996). New Media Technology: Cultural and Commercial Prespectives.
        A Simon & Scuster Company. USA
https://aji.or.id/read/buku/15/Media-Online-Pembaca-Laba-dan-Etika.html
http://dewanpers.or.id/opini/detail/65/interaksi-jurnalis-dengan-media-sosial
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H