Mohon tunggu...
Dommy Waas
Dommy Waas Mohon Tunggu... -

Seorang Ayah yang berharap agar anaknya dapat menghargai dan bangga akan pluralitas bangsanya. Senang mempelajari agama-agama lain selain agama yang diyakininya. Selain menuangkan 'kegundahan' lewat artikel juga lewat puisi. Lebih dari itu...masih belajar menulis dengan baik. :)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ormas (agama), Hantu Komunisme dan Keganjenan Politik

21 Agustus 2015   14:15 Diperbarui: 21 Agustus 2015   14:39 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

6. Almarhum Gus Dur pernah meminta maaf - atas nama kaum Nahdiyin (NU) - pada masyarakat Indonesia, khususnya pada para keluarga korban tapol (termasuk korban pembataian massal mereka yang dianggap terlibat atau mendukung komunisme / PKI). Bahwa para santri beberapa pesantren NU pernah turut andil berlumuran darah pada peristiwa 'pembersihan' PKI pasca G30S 1965 hingga tahun 1966. Almarhum Gus Dur sudah membuat dasar rekonsiliasi yang baik dan mestinya diteruskan/dibangun untuk memperkuat persatuan bangsa guna melangkah ke masa depan. Kenapa kita tak mau menerima rekonsiliasi? Bahkan Presiden pun diancam dalam orasi seorang orator ormas – dalam acara Parade Tauhid tanggal 16 Agustus 2015 – bahwa “Kalau sampai Jokowi minta maaf kepada PKI, maka kita sebut Jokowi itu Jokodok!!” ujarnya setengah berteriak. “Siap turunkan Jokodok. Siapkan senjata, kalau besok ada panggilan jihad untuk menghadapi PKI di mana saja. Kalau Jokowi minta maaf pada PKI, siap serbu istana! Siap ambilalih kekuasaan!” (Madina.com). Logika yang digunakan sangat serampangan. Terlalu menyederhanakan. Kalaupun Jokowi (sebagai Presiden RI) menyampaikan permohonan maaf, tentu tidak ditujukan pada pelaku pembunuhan para Jenderal TNI atau pembunuhan lainnya. Permohonan maaf itu ditujukan pada mereka – para eks tapol – yang dianggap (dituduh / digeneralisasi), karena beragam alasan, sebagai bagian dari PKI (komunis) di negeri ini. Dan kita tak bisa pura-pura menutup mata, buta dan tuli akan fakta sejarah ini.

Mengutip catatan Ade Armando pada editorial Madina.com :
Yang hadir sebagai pembawa orasi dan memimpin parade adalah mereka yang senang bersuara keras dan memaki-maki, sekaligus berseberangan dengan pemerintahan Jokowi ataupun Gubernur DKI Basuki Tjahya Purnama. Sejumlah nama penting adalah: Cholil Ridwan (salah seorang Ketua Majelis Ulama Indonesia yang terkenal sangat anti keberagaman), Abu Jibril (Amir Majelis Mujahiddin Indonesia yang dikenal anti Pancasila), Arifin Ilham, Muhammad Al Khathath (Sekjen Forum Umat Islam yang pernah diberitakan mendirikan Dewan Revolusi Islam), Abdurrasyid Abdullah Syafii (anggota Presidium Penyelamat Jakarta yang menentang Gubernur DKI Basuki Tjahja Purnama), Shobri Lubis (Sekjen FPI yang menyerukan anggotanya untuk membunuhi pemeluk Ahmadiyah), Alfian Tanjung (Ketua Gerakan Nasional Patriot Indonesia yang diketahui menyebarkan SMS SARA dalam pemilihan Gubernur DKI), Bachtiar Nasir (Sekjen Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia yang menyatakan Jokowi akan membawa Indonesia menjadi kafir), dan Misbahul Alam (tokoh Hizbut Tahrir, organisasi yang menolak demokrasi dan ingin mendirikan kekhalifahan Islam).

7. Adalah tipikal ORBA, yang selalu melempar isu hantu komunisme pada publik, agar masyarakat tak tentram. Dan entah secara sadar atau tidak, publik digiring dan dipaksa untuk menggantungkan harapan keamanannya pada pihak si penebar hantu komunisme itu. Sebuah grand strategy yang klise tapi mungkin masih ‘laku dijual’. Agenda beberapa ormas agama (dalam Parade Tauhid) itu jelas bukan perlawanan terhadap komunisme, tetapi pernyataan dan penegasan keinginan mereka untuk mendirikan negara Khilafah atau negara Islam versi mereka. Tentu saja mereka harus menggusur Pancasila (melalui/menggunakan tangan yang lain) sebagai ideologi NKRI satu-satunya dengan apa yang mereka sebut sebagai ‘Ideologi Islam’ atau ‘Syari’ah’, versi mereka.

Semoga apa yang saya pikirkan ini keliru. Di usianya ke-70, yang masih relatif muda bagi sebuah bangsa ini, Indonesia, perlu berdamai dengan dirinya sendiri. Tak lagi dihantui oleh jejak-jejak masa lalu. Rekonsiliasi, bukan basa-basi politis dan arogansi atas nama nasionalisme untuk memberangus demokrasi itu sendiri.

Salam Indonesia
Dirgahayu RI ke-70

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun