Mohon tunggu...
Dommy Waas
Dommy Waas Mohon Tunggu... -

Seorang Ayah yang berharap agar anaknya dapat menghargai dan bangga akan pluralitas bangsanya. Senang mempelajari agama-agama lain selain agama yang diyakininya. Selain menuangkan 'kegundahan' lewat artikel juga lewat puisi. Lebih dari itu...masih belajar menulis dengan baik. :)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Lady Gaga dan Negeri yang 'Tergagap-gagap'

26 Mei 2012   05:27 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:46 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Paska peristiwa kecelakaan pesawat Shukoi SJ 1000, 9 Mei 2012 yang lalu, hingga kini berita di berbagai media masih di dominasi oleh pro dan kontra kedatangan seorang artis asing yang ‘nyentrik’ bernama Lady Gaga. Unjuk rasa penolakan bermula dari ormas berlabel agama, pihak kepolisian, lalu merembet hingga para siswa-siswi beberapa sekolah tertentu (karena memang tidak semuanya). Tentu, persoalan pro – kontra dalam negeri ini sudah lazim terjadi. Namanya juga manusia, kepala boleh saja sama hitam, tapi isi hati siapa tahu? Begitu kata pepatah.

Ada beragam isu berseliweran terkait dengan penolakan konser Lady Gaga yang direncanakan sekitar awal Juni 2012 nanti. Mulai dari pornografi, penghujatan agama, kostum panggung yang vulgar, lirik lagu yang negatif, pelacur, hingga ‘stempel’ sebagai pemuja setan. Yang menarik adalah keluarnya pendapat ‘abu-abu’ alias penolakan bersyarat ini dan itu. Lagi-lagi hal ini pun beragam dan terkesan lebay. Bagaimana tidak?! Alasan-alasan penolakan yang digaungkan oleh pihak kepolisian – dalam hal ini Polda setempat – tak ubah seperti ‘titipan kilat’ dari ormas yang ‘rajin’ menyuarakan penegakan moral serta ‘membela’ agama atas nama umat, agama dan Tuhan. Konon, ormas yang paling lantang dalam urusan akherat ini malah sudah membeli sekitar 150 tiket konser Lady Gaga. Alasannya, agar mereka bisa masuk dengan legal jika diperlukan alias buat jaga-jaga jika memang konser harus dibubarkan.

Dalam perkembangannya, justru bermunculan beragam pendapat (statement). Mayoritas pendapat yang terlontar dari para pejabat negeri ini, bukannya menjernihkan dan mendidik, malah membuat berita tentang kontroversial Lady Gaga berlarut-larut. Instansi terkait pun seolah enggan bertanggungjawab, bahkan terkesan saling lempar tanggungjawab, atau ogah sendirian bertanggungjawab.

Pihak kepolisian pun seakan mencari ‘dukungan’ dalam memikul tanggungjawab keamanan. Tak sudi menanggung risiko kerusuhan, akibat adanya isu ancaman ketidakamanan dari pihak yang kontra jika konser tetap dilaksanakan. Bisa jadi, pihak kepolisian sudah lebih dulu ‘mengkalkulasi’ risiko apa saja yang akan dihadapi jika tetap memberi ijin konser.Atau setidaknya, mereka tak ingin vis a vis berhadapan dengan ormas yang memang cukup fasih menggalang massa itu.

Sikap kontra pun, diungkapkan oleh organisasi keagamaan, yaitu MUI. Tapi anehnya, belakangan MUI pun membolehkan konser tersebut dengan syarat. Dan sikap demikian pun ‘ditiru’ oleh beberapa instansi terkait lainnya. Dari sikap menolak, berubah menjadi mengijinkan/membolehkan dengan syarat yang harus dipenuhi. Sungguh, sangat birokratis-minded.

Jika saja penolakan terhadap konser Lady Gaga ini – dengan alasan yang berdasar dan bukan oleh tekanan-tekanan ormas tak berwenang dan cari sensasi – bisa dilakukan oleh pihak yang berwenang dengan jelas dan cepat, tentu saya tak akan mengejawantahkan pandangan saya lewat tulisan ini. Bagi saya, dagelan pro-kontra konser Lady Gaga itu terlalu dibuat menyita energi masyarakat negeri ini. Apalagi sampai melibatkan siswa-siswi untuk demonstrasi. Sikap demikian bukanlah bagian dari demokrasi yang sesungguhnya. Yang terjadi justru demonisasi (pengiblisan) terhadap seseorang karena dugaan bahwa Lady Gaga adalah pemuja setan dan merusak bangsa.

Saya setuju bahwa bangsa ini harus belajar memfilter secara bijak dan dewasa - bisa bertanggungjawab terhadap apa yang dipikirkan, dilihat, dan dilakukan secara pribadi, bukan keroyokan, rombongan atau gerombolan, terhadap hal-hal yang dimungkinkan berdampak pada pencapaian cita-cita luhur (visi-misi) para pendiri bangsa ini. Kalau mau jujur dan kita telusuri, ini bukan sekedar persoalan kultur, agama, moral, seks, ijin, seni, hujat, lirik lagu dan bangsa. Kita bisa lihat, ada berlapis birokrasi (persyaratan administratif) yang harus dipenuhi pihak promotor konser dari berbagai instansi, termasuk MUI. Pertanyaannya, apa saja sebenarnya persyaratan diadakannya sebuah konser musik yang didatangkan dari luar negeri? Apakah dibenarkan, MUI punya wewenang dalam menentukan berjalan atau tidaknya sebuah konser musik? Siapakah sebenarnya pemegang wewenang dalam hal memutuskan dibolehkan atau tidaknya sebuah konser musik dan kriterianya seperti apa? Tidakkah ini hanya persoalan ‘pembagian jatah setoran’ alias uang semata? Wah….dianggap su’udzon (berburuk sangka) kalau kita berpikir begitu. Walahualam! Belum pernah rasanya, ada catatan sejarah yang menyatakan sebuah negeri atau bangsa menjadi runtuh hanya karena sebuah konser musik. Mungkin benar, bahwa sering terjadi kerusuhan dalam sebuah konser musik. Itu terjadi karena ketidakdewasaan para penontonnya serta mereka datang memang bukan dengan tujuan menikmati musik, melainkan membuat sensasi dan mental yang labil. Hal serupa ini pun sering terjadi dalam tontonan sepak bola.

Yang pasti, negeri ini masih disuguhi dengan berita serta isu yang kacau-galau. Lagi-lagi, legitimasi agama hanya menjadi bungkus untuk menutupi tujuan-tujuan duniawi. Hanya karena Lady Gaga seorang artis dunia yang sedang naik daun – terlepas dari kontroversi yang berkembang – maka rencana konsernya di negeri ini pun dimanfaatkan dengan ‘sebaik-baiknya’ oleh kelompok-kelompok ‘pengail ikan di air keruh’. Apakah hal itu (penolakan keras) juga berlaku/terjadi pada para penyanyi lokal yang tak kalah seronoknya dengan sang Lady? Kita tahu jawabnya. Ah…semestinya kita malu, setidaknya malu pada diri kita sendiri. Cobalah kita bercermin, setidaknya Lady Gaga yang kontroversial itu menikmati hidup dari kerja keras dan jerih payahnya. Bukan dari celah-celah kegamangan hukum dan panjang lebarnya birokrasi atau hiruk pikuk politik, serta kemunafikan. Jika pun benar Lady Gaga seorang pemuja setan, maka itu tak berarti kita jadi beringas dan berperilaku kesetanan (berteriak-teriak, membakar-bakar, memaki, dsb.) karena tak suka atau menolak kehadirannya. Semestinya kita malu pada kenyataan bahwa kita masih menjadi negeri yang tergagap-gagap oleh beragam persoalan, bahkan oleh kehadiran seorang perempuan ‘nyentrik’ bernama Lady Gaga.

Bandung, 26 Mei 2012

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun