"Tidak perlu kasihan dengan mereka, biar karya yang berbicara"
Hampir dipastikan, orientasi para pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) saat membuka suatu usaha untuk memperbaiki sekaligus meningkatkan roda perekonomian. Hal itu wajar. Namun, tidak bagi Aryo Setiawan (44). Tujuan utama membuka usaha kriya (batik) bukan mencari laba, melainkan memanusiakan manusia.
Papan nama usaha bertuliskan Batik Wistara menghentikan laju sepeda motorku. Pagar putih tulang menjulang tinggi dan kokoh sedikit terbuka. Jendela depan rumah juga terlihat serupa. Di halaman depan, terdengar suara namun samar. Terlihat dua orang sedang asik berbincang.
Sesaat, salah satu dari mereka membuka pintu utama. Aryo menghampiri, lalu sedikit berbincang kemudian mempersilahkan saya untuk masuk ke dalam rumah. Ia meminta saya untuk duduk dan menunggu. Maklum, usaha produksi batiknya banyak didatangi pembeli maupun awak media yang dikerjakan anak-anak penyandang disabilitas (tunarungu dan tunawicara).Â
Sembari menunggu, kuamati ruangan yang cukup luas dan tinggi bercat putih tulang dengan warna lampu putih dan kuning. Dekat pintu masuk, ada mesin jahit. Tepat di depan mesin jahit, terpajang beberapa lukisan. Di sudut lain, beberapa pakaian batik tergantung rapi. Adapula kain dan pakaian batik tersusun dalam lemari. Disudut ruangan, terdapat sepeda motor lawas. Suasana di dalam sangat sejuk dan elegan.
15 menit menunggu, perbincangan dimulai. Aryo berkisah, tujuan membuka usaha kriya batik yang dirintis sejak tahun 2010 untuk mewadahi sekaligus memberdayakan anak-anak penyandang disabilitas. Artinya, membuka lapangan kerja bagi mereka sekaligus memberikan wadah untuk para difabel. Selain itu, membentuk karakter anak-anak difabel agar mandiri sekaligus memberi pelajaran tanggung jawab.
"Utamakan sosiopreneur bukan entrepreneur. Artinya, lebih mengutamakan manusia ketimbangan laba (keuntungan)," ungkap Aryo.
Alasan lain melibatkan anak-anak disabilitas karena ia menilai karya anak-anak disabilitas kurang begitu diperhatikan. Padahal, talenta yang dimiliki serta karya yang dihasilkan sangat luar biasa. Jika dibandingkan anak-anak normal lainnya, mereka memiliki nilai lebih ketika mengerjakan sesuatu. Sangat serius dan gigih. "Makanya tekad saya bulat untuk membangun usaha batik dengan melibatkan anak-anak difabel," imbuh Aryo.Â
Melibatkan anak-anak disabilitas dalam suatu usaha terbilang unik sekaligus mulia. Ada cerita menarik selama mendampingi dan membimbing anak-anak difabel mulai berlatih hingga bekerja. Dibutuhkan kesabaran ekstra karena pada dasarnya, mereka tidak bisa dipaksakan dan tidak bisa dipresure. Tiba-tiba malas lalu meninggalkan pekerjaan. Perilaku itu dinilai biasa dan sangat wajar. Sebab, karakter anak-anak difabel berbeda dengan anak-anak normal pada umumnya.
"Kalau tiba-tiba ingin berhenti bekerja ya berhenti dan itu tidak bisa dipaksa. Kalau dipaksa, mereka akan marah. Makanya perlu ekstra kesabaran. Namun balik lagi, niat dari hati saya dan keluarga memang untuk mereka. Bahkan mereka sudah saya anggap anak sendiri," tandasnya.Â
Bukti cinta Aryo kepada anak-anak disabilitas makin terasa ketika ia belajar bahasa isyarat secara otodidak. Hal ini tidak lepas dari profesi Aryo yang juga seorang dosen di Politeknik Penerbangan Surabaya. Di sana, ia mengajar mata kuliah manajemen transportasi udara. Dosen atau tenaga pendidik tidak hanya belajar bidang yang ia geluti, melainkan juga memiliki hak untuk menekuni aksi sosial yang memang dicintai tanpa paksaan, seperti membina anak-anak disabilitas. Â
Menurutnya, konsep batik dipilih karena sejatinya, ia sejak lama sangat mencintai batik. Baginya, batik merupakan warisan leluhur bangsa yang harus dipertahankan. Batik juga mencerminkan simbol bangsa Indonesia. Itulah mengapa, ia memilih batik yang kemudian diberi nama Wistara. Pemilihan nama Wistara sendiri diambil dari bahasa Jawa yang artinya sudah nampak atau terlihat.
Setelah menemukan konsep usaha yang hendak dipasarkan dan menemukan target pasar, Aryo yang memang berkeinginan melibatkan anak-anak disabilitas, bekerjasama dengan Dinas Sosial (Dinsos) Pemkot Surabaya. Skemanya, Dinsos memberikan data, siapa saja anak-anak difabel yang memiliki potensi di bidang kesenian batik maupun lukis. Setelah dipilih, mereka dibekali pelatihan selama 3 bulan. Selanjutnya, mereka siap diperkerjakan.
Selayaknya karyawan pada umumnya, mereka bekerja mulai pukul 08.00 pagi hingga 16.00 sore. Pukul 12.00 -- 13.00 istirahat. Mereka diberi gaji per bulan, tempat tinggal dan makan ditempat. Saat ini, jumah karyawan Batik Wistara sebanyak 12 orang. Bahkan sebelum pandemi, jumlah karyawan mencapai 18 orang. Karyawan yang bekerja merupakan usia produktif (13 -- 35 tahun).
Selain bekerja, mereka juga dibekali aktivitas lain seperti melukis dan membatik secara manual. Terbaru, mereka membatik motif Corona. Berbahan dasar, kain mori, lilin, pewarna, canting dan kompor, anak-anak tampak lihai saat membatik di atas kain. Aksi ini sempat viral dan mendapat perhatian dari beberapa media. Bahkan, di bulan kemerdekaan ini, mereka mengikuti lomba film pendek. Kegiatan-kegiatan semacam ini perlu dilakukan untuk mengasah skill sekaligus menunjukkan kepada masyarakat, bahwa anak-anak difabel hadir dan bermanfaat bagi orang lain.
Sepuluh tahun bekerja bersama dengan anak-anak penyandang disabilitas, Aryo merasa berhasil memberdayakan mereka. Terlepas dari jaringan yang banyak, jika kualitas produk tidak bermutu, maka produk batik tidak akan laku. Hal itu mampu dibuktikan ketika sentuhan jari jemari anak-anak disabilitas mampu menghasilkan karya terbaik bagi sebagian besar masyarakat Indonesia.
"Batik Wistara sudah dikenal tingkat nasional. Bahkan, beberapa teman di luar negeri turut memperkenalkan batik saya yang dikerjakan anak-anak difabel," ujar pria alumni Institut Sepuluh November (ITS) itu.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H