Menurutnya, konsep batik dipilih karena sejatinya, ia sejak lama sangat mencintai batik. Baginya, batik merupakan warisan leluhur bangsa yang harus dipertahankan. Batik juga mencerminkan simbol bangsa Indonesia. Itulah mengapa, ia memilih batik yang kemudian diberi nama Wistara. Pemilihan nama Wistara sendiri diambil dari bahasa Jawa yang artinya sudah nampak atau terlihat.
Setelah menemukan konsep usaha yang hendak dipasarkan dan menemukan target pasar, Aryo yang memang berkeinginan melibatkan anak-anak disabilitas, bekerjasama dengan Dinas Sosial (Dinsos) Pemkot Surabaya. Skemanya, Dinsos memberikan data, siapa saja anak-anak difabel yang memiliki potensi di bidang kesenian batik maupun lukis. Setelah dipilih, mereka dibekali pelatihan selama 3 bulan. Selanjutnya, mereka siap diperkerjakan.
Selayaknya karyawan pada umumnya, mereka bekerja mulai pukul 08.00 pagi hingga 16.00 sore. Pukul 12.00 -- 13.00 istirahat. Mereka diberi gaji per bulan, tempat tinggal dan makan ditempat. Saat ini, jumah karyawan Batik Wistara sebanyak 12 orang. Bahkan sebelum pandemi, jumlah karyawan mencapai 18 orang. Karyawan yang bekerja merupakan usia produktif (13 -- 35 tahun).
Selain bekerja, mereka juga dibekali aktivitas lain seperti melukis dan membatik secara manual. Terbaru, mereka membatik motif Corona. Berbahan dasar, kain mori, lilin, pewarna, canting dan kompor, anak-anak tampak lihai saat membatik di atas kain. Aksi ini sempat viral dan mendapat perhatian dari beberapa media. Bahkan, di bulan kemerdekaan ini, mereka mengikuti lomba film pendek. Kegiatan-kegiatan semacam ini perlu dilakukan untuk mengasah skill sekaligus menunjukkan kepada masyarakat, bahwa anak-anak difabel hadir dan bermanfaat bagi orang lain.
Sepuluh tahun bekerja bersama dengan anak-anak penyandang disabilitas, Aryo merasa berhasil memberdayakan mereka. Terlepas dari jaringan yang banyak, jika kualitas produk tidak bermutu, maka produk batik tidak akan laku. Hal itu mampu dibuktikan ketika sentuhan jari jemari anak-anak disabilitas mampu menghasilkan karya terbaik bagi sebagian besar masyarakat Indonesia.
"Batik Wistara sudah dikenal tingkat nasional. Bahkan, beberapa teman di luar negeri turut memperkenalkan batik saya yang dikerjakan anak-anak difabel," ujar pria alumni Institut Sepuluh November (ITS) itu.Â