Awal tahun 1990 hingga 2000, layar kaca Indonesia menyajikan beberapa sinetron yang banyak mengandung pesan moral serta mempertahankan kehidupan asli masyarakat Indonesia yang tinggal di perkampungan.Â
Sebut saja sinetron Si Doel Anak Betawi, Keluarga Cemara, Bajai Bajuri hingga Tukang Bubur Naik Haji. Pemilihan lokasi syuting, dialog yang disampaikan, sampai hal-hal teknis terlihat natural dan sederhana membuat khalayak enggan beranjak dari kursi.
Kini, dunia perfilman kembali menanyangkan sinetron yang serupa berjudul Tukang Ojek Pengkolan atau biasa disebut TOP. Sinetron TOP terdiri dari ketiga pemeran utamanya yaitu Tisna asal Sukabumi, Rojak (Ojak) asal Jakarta dan Purnomo (Mas Pur) asal Semarang.Â
Ketiganya bekerja sebagai tukang ojek di kawasan rawa bebek, Jakarta untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga masing-masing dan memiliki cerita ketika berinteraksi bersama keluarga serta warga lainnya. Ada cerita sederhana dari mereka yang hidup di balik gedung-gedung perkantoran ini.
Sinetron yang tayang perdana pada 15 April 2015 itu menampilkan alur cerita yang sangat sederhana dibandingkan dengan sinetron pada umumnya. Hal itu terlihat dari penyajian karakter pemain yang cukup beranekaragam. Mulai dari yang benar-benar baik, jahat, polos, sabar, usil, tukang galau, egois, cerewet, genit, sampai doyan ngegosip.
Dari sisi pekerjaan, pendidikan dan usia. Nyaris rata. Ada anak SD sampai kuliah. Bapak-bapak dan ibu-ibu dengan latar belakang suku, budaya dan pekerjaan berbeda-beda. Ada pemeran yang berasal dari Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat. Tisna dari Sukabumi.Â
Dia selalu sabar menghadapi istri yang cerewet. Ojak asli Betawi omongannya ceplas-ceplos. Mas Pur, baik, lugu dan halus. Meskipun terkadang sedikit grusa-grusu dan terlalu percaya diri. Sekar, kerapkali mengocok perut pemirsa lewat mimik dan gaya bahasa khas jawa timurannya.Â
Meskipun tidak semua suku masuk dalam sepotong cerita TOP, setidaknya ini menunjukkan bahwa Indonesia terdiri dari berbagai macam suku dan bahasa. Hal positif lainnya, memberi sedikit ilmu kepada khalayak agar mengetahui sifat atau karakter setiap daerah berbeda-beda.
Adapula rupa-rupa pekerjaan yang dijalani masyarakat di perkampungan. Mulai tukang ojek, penjual warung makan dan warung kopi, tukang sayur, pengamen, tukang bersih rumah dan setrika, penjual kue keliling, ketoprak, es cendol sampai tukang cuci sepeda motor. Tak kalah menarik, kehadiran Babe yang hobi mancing tapi kalau dibonceng sepeda motor, duduk di depan. Mirip anak kecil.Â
Kurang sedap rasanya hidup tanpa cinta. Dalam sinetron ini sebenarnya ada beberapa pemeran yang kasmaran. Namun, terkesan biasa saja. Paling unik kisah cinta Mas Pur.Â
Ia digambarkan sebagai sosok lelaki yang acapkali mengejar perempuan cantik di kawasan tersebut. Hanya saja, cinta yang diberikan kerapkali kandas dengan berbagai macam alasan. Terbaru, Mas Pur mencoba peruntungan untuk memperjuangkan cinta dengan Siska. Kita lihat bagaimana akhirnya. Berhasil atau tidak.
Semua penggambaran tokoh dalam sinetron TOP menunjukkan warna-warni kehidupan orang di perkampungan. Inilah realita kehidupan di perkampungan. Beranekaragam. Bahkan, apa yang ditampilkan sinetron TOP nyaris sama dengan realitas sebenarnya.
Lebih lanjut, meski baru pertengahan tahun 2018 mengikuti sinetron TOP, penulis melihat ada perbedaan yang mungkin tidak banyak dihadirkan pada sinetron lainnya.Â
Paling utama adalah dialog yang dilontarkan sangat sederhana, tapi dalam dan tuntas dalam setiap adegannya. Lalu, perpindahan scene satu ke scene lainnya sangat apik. Artinya, tidak monoton dan tidak terlalu panjang. Detik atau menit berdialog langsung berganti. Hal ini membuat penonton terhibur dan tidak menjemukan. Ditambah, lokasi syuting yang benar-benar menunjukkan kehidupan di kampung. Sangat natural dan apa adanya.
Terakhir adalah pakaian yang digunakan sehari-hari beserta make up. Bisa dilihat cara berpakaian dan make up disesuaikan dengan karakter dari masing-masing pemeran. Tidak ada yang dilebih-lebihkan. Semuanya terlihat pas dan elegan. Menunjukkan wujud asli kehidupan orang yang tinggal di perkampungan. Â
Oleh karena itu, para sutradara atau dunia perfilman sebaiknya menanyangkan sinetron semacam ini. Selain menghibur, ada nilai yang disampaikan kepada khalayak. Jadi, tidak sekedar menonjolkan wajah dan make up saja. Bahkan sampai harus melupakan keaslian bangsa ini. Utamanya, penggunaan bahasa dan pemilihan teks yang dipergunakan dalam setiap episode per episodenya. Kira-kira begitu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H