Catatan Awal
Tahun 2023, berdasarkan beberapa kejadian bunuh diri di TTU, saya coba mendata kasus bunuh diri yang dilaporkan media. Secara khusus saya mencoba untuk mendata dan mendalami kasus bunuh diri yang melibatkan korban remaja. Data-data tersebut tersimpan dengan baik di laptop, dan belum diolah sampai saat ini. Namun viralnya kasus bunuh diri di awal tahun 2025 menggoda saya untuk membongkar kembali data-data yang tersimpan, kemudian mencoba untuk mengolahnya dari perspektif lain.
Data Berbicara
Bunuh diri merupakan kejadian yang sering kita dengar. Artinya peristiwa bunuh diri bukan merupakan hal baru. Dan mengutip laman RSJWR Bunuh diri merupakan penyebab kematian ketiga tertinggi setelah kecelakaan dan pembunuhan.
Pada 2016 World Health Organization melaporkan bahwa diperkirakan ada 793.000 kematian akibat bunuh diri di seluruh dunia. Menurut Asosiasi Pencegahan Bunuh Diri Indonesia (INASP) terdapat 670 jumlah kasus bunuh diri pada tahun 2018 yang dilaporkan. Selain itu terdapat lebih dari 303 persen kasus bunuh diri yang tidak dilaporkan. Data tersebut diperoleh berdasarkan perbandingan data kepolisian dan Sample Registry System (SRS) dari Kementerian Kesehatan.
Kasus bunuh diri sejak tahun 2018 hingga akhir 2023 mengalami peningkatan yang signifikan. Berdasarkan data dari Polri, dilaporkan bahwa terdapat 663 kasus bunuh diri di Indonesia sepanjang periode Januari-Juli 2023, dan total pada bulan Desember 2023 mencapai sekitar 1.200 kasus. Sementara itu yayasan Emotional Health For All (EHFA) mengemukakan data bahwa tingkat bunuh diri di Indonesia mencapai empat kali lipat dari angka yang dilaporkan. Tambahan, berdasarkan data pada laman BPS-NTT dicatat bahwa pada tahun 2018 terdapat 158 korban bunuh diri, dan pada periode 2018 -2021, dengan masih merujuk data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS), tercatat 303 kasus. Yang lebih memprihatinkan lagi, percobaan atau upaya untuk bunuh diri tujuh kali lipat dari jumlah yang dikemukakan.
Perspektif Gender
Kembali ke apa yang sudah digambarkan pada catatan awal di atas, di TTU sendiri, sejak tahun 2018 sampai tahun 2022 ada beberapa kejadian bunuh diri. Dari beberapa laporan media yang tercatat, kejadian-kejadian tersebut melibatkan korban lebih dari 70%-nya adalah laki-laki. Catatan ini sejalan dengan data WHO beberapa tahun sebelumnya. WHO mencatat bahwa pada 2016 diperkirakan ada 793.000 kematian akibat bunuh diri di seluruh dunia, dan sebagian besar adalah laki-laki. Selanjutnya pada tahun 2021, dari 6.544 angka bunuh diri di Indonesia, sebanyak 5.095 kasus terjadi pada laki-laki. Data ini kemudian diulas lebih lanjut dengan garis bawah, bahwa meskipun proporsi ide dan rencana bunuh diri lebih tinggi pada perempuan, ternyata proporsi percobaan bunuh diri justru ditemukan lebih besar pada laki-laki. Artinya bahwa meskipun perempuan lebih rentan terhadap kondisi masalah mental seperti depresi dan sejenisnya, keputusan untuk melakukan tindakan bunuh diri karena tekanan mental lebih cenderung dilakukan oleh laki-laki.
Deskripsi data di atas lantas menimbulkan pertanyaan tentang mengapa angka bunuh diri cenderung tinggi pada kelompok laki-laki? Mengapa laki-laki lebih rentan terhadap tindakan bunuh diri? Meskipun dalam banyak kejadian kasus bunuh diri dihubungkan dengan gangguan mental seperti depresi. Memang tidak salah, bahwa depresi merupakan suatu situasi mental yang menjadi kunci utama prediktor bagi kejadian bunuh diri. Namun hal tersebut adalah situasi permukaan. Ternyata ada hal lain yang banyak kali luput dari perhatian.
Kalau membahas soallaki-laki dan perempuan, perbedaan antara keduanya tidak hanya terletak pada fisik dan kekuatan saja. Dalam menyikapi sebuah masalah pun baik pria maupun perempuan punya caranya sendiri. Kalau perempuan cenderung menanggapinya dengan perasaan dan bercerita pada orang sekitar untuk mencari solusi, laki-laki biasanya lebih sering menyembunyikan masalahnya sendiri. Laki-laki terkondisi untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. Laki-laki tidak boleh mengekspresikan kesedihan, kekecewaan, stres dan sebagainya. Kondisi tersebut berbeda dengan perempuan. Para perempuan lebih bebas untuk mengekspresikan emosi mereka, mereka bebas untuk mengutarakan masalah mereka kepada teman-teman mereka. Penjelasan tentang perbedaan laki-laki dan perempuan dalam menghadapi suatu masalah secara gamblang uraikan oleh John Gray dalam Men are from Mars and Women are from Venus.
Secara keseluruhan, mulai dari yang paling primitif sampai paling kini, ada anggapan bahwa laki-laki harus kuat, baik dari segi fisik maupun mentalnya. Dalam sistem sosial kita, kita sering mendengar kalimat "anak laki-laki tidak boleh menangis" ketika ada anak laki-laki yang jatuh dan terluka. Atau kalimat lain: "Laki-laki harus kuat," dan "laki laki tidak boleh lemah dan cengeng." Akibatnya, laki-laki yang juga memiliki dimensi emosi sebagai manusia tumbuh  dengan menyembunyikan emosinya dibanding mengekspresikannya, terlebih emosi-emosi negatif. Sistem sosial kita menekan laki-laki untuk tidak mengekspresikan rasa sakitnya.
Meskipun secara normal menceritakan masalah tidak pernah membuat laki-laki lemah, tetapi kembali kepada soal konstruksi yang dibangun masyarakat dalam kurun waktu yang sangat lama dan panjang, mereka punya naluri warisan dari kenerasi ke generasi yang mebuat mereka memendam masalah hidupnya sendiri kemudian menyelesaikannya sendiri. Hal ini kemudian mendatangkan masalah bagi laki-laki sendiri. Dalam keterbatasannya, dimana laki-laki tak mampu menyelesaikan masalahnya sendiri, seringkali laki-laki memilih jalan keliru.
Dalam laporan Jill Harkavy-Friedman, wakil presiden divisi penelitian untuk American Foundation for Suicide Prevention, sebuah organisasi kesehatan yang menolong mereka yang terdampak oleh bunuh diri, dikatakan bahwa alih-alih mencari bantuan, laki-laki bisa saja berusaha "mengobati diri sendiri". Jalan atau cara mengobati diri sendiri diantaranya rokok, alkohol atau narkoba. Pada kondisi ekstrim, tindakan terjauh laki-laki adalah menyerah kalah pada masalah dan mengakhiri hidupnya sendiri.
Apa yang dapat dilakukan?
Ada dua hal yang saling berhubungan. Pertema, mengembangkan dan meningkatkan kepedulian kepada orang lain. Kadang kita tahu bahwa orang di sebelah kita sedang mengalami masalah, dan sedang berjuang sendirian. Kita cenderung menempatkan posisi sebagai pengamat dan penilai, alih-alih membantu mencari jalan keluar bagi mereka yang bermasalah. Menanyakan kabar, mendengarkan cerita orang lain merupakan hal kecil, namun memberikan dampak yang luar biasa untuk kehidupan mereka.
Kedua,-- yang berkaitan dengan tulisan ini - adalah dengan berbicara. Setiap orang baik perempuan maupun laki-laki perlu diberi ruang untuk membicarakan masalah yang dihadapinya. Orang perlu berbicara tentang masalah mereka, membuka pintu komunikasi kepada orang lain, dan perlu tahu bahwa mereka tidak sendirian. Ada orang yang siap sedia mendukung mereka disaat-saat tersulit, mendukung kehidupan mereka. Hal ini berlaku juga untuk laki-laki.
Memang agak sulit, karena sepanjang sejarah laki-laki terjebak dalam stigma tentang lelaki harus kuat. Akhirnya tanpa disadari laki-laki terjebak dalam toxic masculinity - salah satu prediktor kecenderungan kasus bunuh diri pada laki-laki. Istilah ini digunakan untuk menjelaskan konsep maskulinitas yang keliru dan tidak sehat tentang laki-laki, terutama tentang sisi emosional laki-laki. Anggapan bahwa laki-laki harus kuat secara fisik, dari segi emosional laki-laki tidak berperasaan, dan bila perlu harus memiliki perilaku agresif. Laki-laki juga dituntut harus menolak apa pun yang dianggap feminin, seperti menunjukkan emosi, menceritakan masalahnya, atau menerima bantuan dari orang lain ketika menghadapi masalah.
Dari kedua hal yang diuraikan di atas, kesimpulan sederhana yang dapat dibuat adalah bahwa setiap orang dalam lingkungan sosialnya perlu mengembangkan sikap peduli terhadap orang lain. Kepedulian ini dikembangkan tanpa membeda-bedakan, apalagi menempatkan kepedulian hanya pada gender tertentu. Laki-laki, seperti halnya perempuan, adalah manusia yang utuh dengan segala dimensi kodrati yang melekat padanya. Laki-laki memiliki perasaan, dan dalam menghadapi masalah tetap membutuhkan bantuan dari orang lain. Sebab jika kita semakin tidak peduli, kita akan terus berhadapan dengan kejedia-kejadian bunuh diri berikut yang oleh Emile Durkheim disebut bunuh diri anomik sampai fatalistik.
Selain itu, laki-laki perlu meninggalkan doktrin usang yang menempatkan mereka dalam jebakan stigma yang membelenggu kehidupan mereka sebagai manusia. Laki-laki perlu berbicara tentang masalah mereka. Laki-laki perlu bercerita tentang diri mereka. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa dengan bercerita orang akan mengalami kelegaan. Bercerita tidak serta merta mengatasi masalah, tetapi dengan menceritakan masalah mereka beban mental seseorang akan lebih terasa ringan dan membuat orang lebih leluasa menghadapi masalah. Dengan demikian usaha mencari jalan keluar dari masalah menjadi lebih mungkin ditemukan, dibanding jalan pintas untuk menyerah pada masalah dengan mengakhiri hidup sendiri.
Beberapa sumber:
Burden of Suicide, dari Pan American Health Organization (PAHO)Â
Statistik Bunuh Diri, dari Asosiasi pencegahan Bunuh Diri Indonesia (INASP)
Suicide Data, dari World Health Organization (WHO)Â
Suicide, dari Our World in DataÂ
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI